Mengikat Peradaban Lampau, Menjaga Identitas Daerah
TENUN KAIN: Haninah (65), warga Kelurahan Tenun, Samarinda Seberang, Kalimantan Timur, saat menenun sebuah kain. FOTO: ANTARA/AHMAD RIFANDI --
Mereka merajut benang-benang harapan, melestarikan warisan budaya yang tak ternilai. Di tangan-tangan terampil mereka, tradisi tenun Samarinda terus bergema, menitipkan pesan tentang identitas dan budaya kepada generasi penerus.
Kampung Tenun Samarinda adalah sebuah permata di tepian Mahakam. Di sini, tradisi dan modernitas bertemu, berpadu dalam sebuah melodi yang indah dan inspiratif. Sebuah melodi tentang warisan budaya yang dijaga dengan cinta dan kegigihan, sebuah melodi yang akan terus bergema di sepanjang aliran Sungai Mahakam.
Tata Ruang Dibenahi
Di tengah masyhurnya kain tenun Samarinda, tersembunyi sebuah ironi. Kampung Tenun, sentra industri kain tradisional kebanggaan Kalimantan Timur ini, masih terganjal oleh tata ruang yang kurang optimal dalam menunjang pengembangan wisata kreatif. Salah satu contohnya adalah Jalan Pangeran Bendahara Samarinda Seberang, koridor publik utama di kampung tersebut.
Jalan ini, meski memiliki potensi besar sebagai area tepi sungai (riverfront) dan promenade, belum memaksimalkan akses visual ke arah Sungai Mahakam. Letak ruang belakang pada bangunan-bangunan di jalan ini pun membelakangi sungai, menghasilkan limbah air yang mengotori dan merusak citra kampung wisata.
Kenny Lesmana, dalam studinya berjudul "Perancangan Kawasan Riverfront Berkelanjutan di Kampung Tenun Samarinda dengan Pendekatan Creative Tourism dan Studi Space Syntax" mengungkapkan bahwa kurangnya ruang kegiatan pariwisata di Jalan Pangeran Bendahara Samarinda menghambat interaksi antara wisatawan dan penduduk lokal. Itu salah satu indikator utama wisata kreatif, partisipasi aktif wisatawan dalam proses kreatif, terhalang oleh minimnya akses menuju hunian para penenun.
Keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN) menumbuhkan optimisme daerah penyangga untuk memperkuat sektor pariwisata sebagai tumpuan perekonomian masyarakat lokal. Maka, tatanan indah dan kreatif akan sebuah kampung semestinya dipertajam.
Wisatawan, dalam studi Kenny, jika memiliki ruang lebih dalam berpartisipasi aktif dengan penduduk setempat pada saat memproduksi kain tenun, maka kunjungan mereka tentu lebih lama. Ini menghasilkan interaksi yang lebih mendalam antara masyarakat lokal dengan wisatawan.
Interaksi itu menghasilkan pengalaman berkesan bagi para pengunjung. Sebab, pengunjung bukan sekadar melebur untuk belajar menenun, namun mengikat emosional dengan keramahan penduduk lokal.
Membawa pengunjung menjadi bagian dari proses kreatif lebih dari sekadar membelanjakan produk akhirnya, sehingga tatanan ruang akses Kampung Tenun Samarinda penting untuk dipikirkan ke depannya.
Jangan sampai upaya dalam mengembangkan Kampung Tenun sebagai destinasi wisata tradisi unggulan, justru terkubur dalam tata ruang yang kurang bersahabat.
Menyatukan Modernitas- Tradisi
Di tepian Sungai Mahakam, Samarinda Seberang, bersiap menyambut era baru pariwisata. Dermaga wisata yang dirancang apik akan menjadi gerbang utama bagi pengunjung untuk menjelajahi kekayaan budaya dan sejarah kawasan ini.
Dermaga wisata bukan hanya tentang program pembangunan, akan tetapi juga soal membumikan nilai-nilai historis dan budaya khas Samarinda. Masjid Shiratal Mustaqiem, yang merupakan masjid tertua, akan menjadi landmark utama di kawasan ini. Sebuah angin segar meramaikan wisatawan, menghubungkan nadi kehidupan kampung wisata yang berdekatan: Kampung Tenun dan Kampung Ketupat.
Membangun dermaga wisata tanpa menggusur nilai-nilai sosial menjadi komitmen Pemkot Samarinda. Tentunya, semangat melestarikan kearifan lokal menjadi ruh dari pengembangan kawasan tersebut.