1.000 Quanzhou

Oleh : Dahlan Iskan--

Masyarakat Islam saat itu datang dari Timur Tengah. Berdagang. Quanzhou kota dagang yang penting. Mereka membangun masjid di situ.

Batuta sempat melakukan perjalanan dari Quanzhou ke Beijing. Lewat Hangzhou. Lalu menyusuri Great Canal. Dalam tulisannya Batuta salah tulis: dikira itu sungai Yangtze.

Dari Beijing, Batuta kembali ke Quanzhou. Kerasan di sini. Sampai beberapa bulan lagi.

Di Quanzhou inilah Batuta kaget. Untuk kali pertama ia melihat orang makan ular. Juga makan katak, belalang dan segala macam binatang. Ia pun terheran-heran. Itu tampak di tulisannya kemudian.

Quanzhou di zaman itu adalah pelabuhan besar dan penting. Hubungannya dengan Sriwijaya di Palembang sangat erat. Pun dengan pedagang dari Timur Tengah.

Di zaman Sriwijaya sampai Majapahit ''Nusantara'' lebih berpengaruh dibanding kawasan Asia Tenggara lainnya. Maka kalau Putri Campa kawin dengan raja di kawasan ini sangatlah wajar. Mereka menganggap peradaban Sriwijaya dan Majapahit lebih tinggi.

Besarnya komunitas Islam di Quanzhou sudah diakui dalam sejarah. Kini masjid itu berada di pusat kota. Di jalan Tumen. Jalan raya utama. Hanya beberapa meter dari kelenteng besar yang sangat indah. Kelenteng ini ramai pun di era komunis ini. Banyak pengunjung.

Masjidnya sendiri sepi.

Tepat pukul 1.30 saya tiba kembali di masjid. Hanya ada 20-an orang. Terasa kosong. Masjid ini bisa untuk 300 orang.

Saya berwudu di toilet sebelah kanan masjid.

Begitu melangkahkan kaki masuk masjid seseorang berdiri. Menuju podium. Itulah kiai Quanzhou. Berbaju putih sampai mata kaki. Berudeng di kepala. Berkaus kaki. Ia mulai ceramah. Tanpa "Assalamu'alaikum". Ia kutip ayat-ayat Quran di awal ceramah. Lalu pakai bahasa Mandarin.

Saya tidak terlalu paham isinya. Logatnya sangat lokal. Bicaranya cepat pula.

Rasanya ia bicara soal perlunya mengenal Allah dan mengenal diri sendiri. Dari wajahnya terlihat ia orang Tionghoa suku Hui. Bacaan Qurannya fasih sekali.

Sudah 20 menit ia bicara. Belum terlihat akan berakhir. Lama sekali. Tiga orang yang duduk di deretan depan saya tampak mulai gelisah. Mereka saling bisik. Mereka tidak mengerti bahasa Mandarin. Badan mereka besar-besar. Berjenggot. Pasti bukan orang Hui.

Setelah berbisik, yang paling besar bangkit dari duduk. Ia berdiri bergeser agak ke kiri. Ia seperti mau salat. Ia menengok ke dua temannya yang masih duduk. Kepalanya menolehkan wajah. Itu isyarat agar yang dua mengikuti apa yang ia kerjakan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan