Siapa Musafir yang Boleh Tidak Berpuasa? Ini Penjelasan Lengkapnya
Ilustrasi macet--
JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO-Istilah ’musafir’ tidak asing di telinga kita. Secara sederhana musafir dapat diartikan sebagai orang yang sedang bepergian.
Dalam kajian fiqih, memahami istilah ’musafir’ secara komprehensif sangat penting karena berkaitan dengan hukum, seperti dalam hal puasa dan shalat.
Akan tetapi, penulis akan membahas pengertian terkait ’siapa itu musafir’ dalam hal puasa. Siapa Itu Musafir? Dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in, bahwa yang dimaksud dengan musafir adalah seseorang yang sedang melakukan perjalanan yang diperbolehkan melakukan qashar shalat.
وَيُبَاحُ فِطْرٌ) فِيْ صَوْمٍ وَاجِبٍ (بِمَرَضٍ مُضِرٍّ) ضَرَرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمُ كَأَنْ خُشِيَ مِنَ الصَّوْمِ بُطْءُ بُرْءٍ (وَفِيْ سَفَرِ قَصْرٍ) دُوْنَ قَصِيْرٍ وَسَفَرِ مَعْصِيَةٍ
Artinya, “Dan diperbolehkan tidak berpuasa dalam puasa wajib sebab sakit yang membahayakan dengan baahya yang membolehkan tayamum, seperti dikhawatirkan akan memperlambat kesembuhan penyakit karena berpuasa, dan dalam perjalanan yang diperbolehkan meng-qashar shalat. Yaitu bukan perjalanan jarak dekat dan perjalanan maksiat.” ( Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in, [Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1998], halaman 91).
BACA JUGA: Puasa Bantu Mengurangi Kejadian Penyakit Asam Lambung
BACA JUGA:Gus Baha Minta Hindari Omongan 'Rugi Ramadan Setahun Sekali Nggak Salat Tarawih’
Redaksi di atas memberikan gambaran bahwa musafir yang dimaksud dalam hal puasa adalah musafir yang sedang menempuh perjalanan yang diperbolehkan mengqashar shalat.
Melansir NU Online dalam artikel berjudul ’Tata Cara dan Ketentuan Qashar Shalat’, seseorang dapat melakukan qashar shalat dengan ketentuan di antaranya sebagaimana berikut:
1. Perjalanan tidak untuk maksiat.
2. Jarak perjalanan minimal dua marhalah atau 80,64 km merujuk kitab Tanwirul Qulub.
3. Melewati batas desa.
Keringanan Tidak Berpuasa bagi Musafir
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat kebolehan bagi musafir untuk tidak berpuasa, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 138:
وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
Artinya, “Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang musafir diperbolehkan tidak berpuasa. Akan tetapi ia tetap wajib mengqadha di kemudian hari.
BACA JUGA:3 Amalan Pokok Ramadan Menurut Ustadz Adi Hidayat yang Jadi Kurikulum Spritual Nabi
BACA JUGA:11 atau 23 Rakaat? Simak Sejarah Munculnya Perbedaan Rakaat Salat Tarawih Menurut Ustadz Abdul Somad
Dengan demikian dapat disimpulkan, seorang musafir diperbolehkan tidak berpuasa saat bulan Ramadhan apabila ia melakukan perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat yaitu kurang lebih dengan jarak minimal 80,64 km. Serta tetap wajib meng-qadla puasa tersebut di kemudian hari. Wallahu a’lam. (sumber nu.or.id)