Letkol Piper

Oleh : Dahlan Iskan--

Oleh: Dahlan Iskan

PILOT itu tidak mau menyalakan lampu di landasan. Padahal sudah jam 8 malam. Sudah gelap. Tidak pula ada cahaya bulan. Ia pilih menerbangkan pesawat pribadinya dalam kegelapan seperti itu.

Satu menit setelah terbang, pesawat balik arah, melewati atas bandara itu lagi.

Lalu... pyaaaang...menabrak bukit. Mental.

Menabrak bukit satunya lagi. Hancur.

Pilotnya tewas. Demikian juga Amy, istrinya. Pun dua anak laki-lakinya yang masih berumur 11 dan 8 tahun. Cures. Satu keluarga.

Di bandara ini semuanya serba dilakukan sendiri. Oleh pilot. Self service. Termasuk kalau harus isi bahan bakar. Kalau perlu penerangan pun harus menyalakan listrik sendiri. Termasuk lampu landasan.

Ini hanya bisa terjadi di Amerika Serikat. Di bandara-bandara kecil. Di pedalaman. Termasuk di Canyonlands Regional Airport di dekat kota kecil Moab ini.

Anda sudah tahu di mana Moab: di dataran tinggi Utah, 4 jam naik mobil dari Salt Lake City. Ke arah tenggara.

Yang dimaksud bandara kecil itu, panjang landasannya 2.100 meter. Lebih panjang dari bandara baru Singkawang. Itu pun masih ditambah landasan gravel sepanjang 600 meter.

Doug Larsen, pilot malam itu, baru berusia 47 tahun. Bung Mirza tahu siapa Doug: anggota senat negara bagian North Dakota. Periode pertama. Terpilih dua tahun lalu.

Larsen juga seorang militer. Pangkatnya letnan kolonel. Kesatuannya: penerbangan angkatan darat. Jam terbangnya sudah panjang: 1.800 jam. Di pesawat militer. Termasuk ketika terlibat dalam perang di Iraq –lebih tepatnya serbuan ke Iraq.

Mungkin karena jagoan terbang itu Larsen merasa biasa saja: take off dalam kegelapan. Bahwa tupai pun bisa jatuh Larsen merasa ia bukanlah tupai.

Tidak ada tupai yang bisa jadi pilot –apalagi jadi ketua mahkamah konstitusi.

Tag
Share