Mate Ningde
Oleh : Dahlan Iskan--
Pun setelah tiga minggu di Tiongkok. Jawabnya masih sama. Ya...sudah.
Saya tidak ahli HP. Hanya bisa pakai. Itu pun terbatas untuk WA, WeChat, YouTube, IG, foto, video, menghitung jarak antar kota, dan yang terpenting untuk menulis naskah. Pun kalau ada gangguan saya masih harus panggil siapa saja yang mungkin: Nicky, Pipit, Ayrton, Icha..
Maka di toko-toko Huawei tadi saya tidak mencoba-coba. Hanya lihat-lihat: ada Mate 60, Mate 60 Pro, dan yang bisa dibuka untuk dapat layar lebih lebar. Lalu lihat harganya. Mahal juga: Rp 27 juta.
Di antara 10 kota itu hanya dua yang baru kali pertama saya datangi: Xianyou dan Ningde. Dua-duanya di provinsi Fujian. Yang satu kota kecamatan. Satunya lagi kabupaten.
Xianyou letaknya di pegunungan. Ningde di dekat pantai –pegunungan pinggir pantai.
Saya hanya satu jam di Xianyou: menikmati alam pegunungannya. Rencana makan siang di Xianyou batal. Masih terlalu pagi. Perjalanan dari Fuzhou ke Xianyou ternyata hanya satu jam.
Saya menyesal tidak menghitung berapa puluh gunung yang harus diterobos terowongan. Berapa puluh celah yang harus dibangun jembatan.
Rasanya inilah kali pertama perjalanan satu jam melewati terowongan terbanyak.
Kalau 50 saja lebih.
Baru keluar gunung sudah masuk gunung lagi. Ada yang jaraknya tidak sampai 50 meter.
Begitu sering saya lihat: keluar dari gunung langsung jembatan tinggi. Berarti jembatan itu bermula di gunung, berakhir di gunung. Memang di antara gunung-gunung itu celahnya berupa jurang yang dalam.
Awalnya saya berpikir: bagaimana orang zaman dulu bisa keluar dari Xianyou untuk merantau sampai Nusantara.
Betapa jauh perjalanan keluar dari gunung-gunung ini. Betapa sulit perjalanan itu.
Lalu: bagaimana orang dulu bisa hidup dari alam seperti ini. Maka wajar kalau mereka merantau. Apalagi zaman itu bebas: tidak ada batas negara, bahkan yang disebut negara pun belum ada.
Tidak perlu paspor. Tidak perlu visa. Tidak perlu KTP. Di mana ada bumi di situ bebas dipijak.