Lestarikan Keterampilan Menenun Sebagai Identitas Budaya
DAUN ENGKERBAI: Lidia Sumbun memetik daun engkerbai untuk bahan pewarna alam tenun ikat khas Dayak Iban.FOTO: ANTARA/HELTI MARINI SIPAYUNG --
Jauh sebelum istilah hilirisasi viral di jagat maya, orang Dayak Iban telah menerapkan praktik ini. Bahkan praktik ekonomi hijau pun sangat akrab dengan masyarakat adat ini.
Ketua Kelompok Telaga Kumang Sungai Utik, Maryetha Samay, yang mengorganisasi para perajin tenun dan anyaman di Dusun Sungai Utik mengatakan produk mereka sudah mulai dikenal. Sebabnya, produk mereka kerap dipamerkan di lingkup pertemuan masyarakat adat tingkat nasional.
“Kami sudah beberapa kali membawa hasil kerajinan anyaman dan tenun ke pameran di Jakarta dan Bali. Sambutan konsumen sangat baik. Setiap produk yang kami bawa pasti habis terjual,” kata Maryetha.
Ia pun menceritakan pengalaman saat pameran di Bali pada 2012. Mereka membawa 50 tikar anyaman berbahan bemban yang habis terjual. Harganya berkisar Rp500 ribu hingga Rp1 juta per lembar.
Lalu saat pameran dalam rangka hari masyarakat adat di Jakarta pada 2018, mereka membawa 10 tikar dan sejumlah tenun, anyaman keranjang, obat-obatan, dan pewarna alam. Seluruhnya habis terjual.
Sejumlah agenda yang diselenggarakan pemerintah daerah, gereja, serta organisasi nonpemerintah juga dijadikan ajang promosi kerajinan HHBK dari hutan adat Dayak Iban Sungai Utik.
“Produk kami disukai karena kualitasnya bagus dan menggunakan bahan dan pewarna alami dari hutan kami. Maka kami bersama-sama menjaga hutan yang akan diwariskan kepada anak-anak perempuan penerus budaya tenun dan anyaman,” katanya.
Ekonomi Hijau
Hilirisasi adalah strategi untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk atau komoditas dengan cara mengubahnya menjadi produk yang lebih kompleks atau memiliki nilai tambah lebih tinggi. Suatu bahan akan dibuat menjadi produk yang lebih bervariasi, berkualitas, dan diminati oleh pasar.
Tenun Dayak Iban yang memakai pewarna alam merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan nilai ekonomi produk tenun itu sendiri tanpa meninggalkan kaidah alam.
Meski bernilai jual tinggi, sayangnya produk tenun pewarna alam ini masih terbatas pemasarannya. Kondisi ini mendorong Asosiasi Perempuan Pendamping Usaha Kecil (Asppuk) mendampingi komunitas masyarakat Dayak Iban, pada kurun 2016 hingga 2019.
Selain pendampingan dalam pelestarian tenun pewarna alam, Asppuk juga mencoba mempromosikan kain tenun pewarna alam ke pasar global. Asppuk membawa tenun Dayak Iban ke New York Fashion Week.
Anggota Dewan Pengurus Nasional Asppuk, Salmiah Ariyana, mengatakan lembaganya mendampingi perempuan perajin tenun ikat Dayak Iban karena ketergantungan mereka terhadap tenun. Tenun adalah identitas sekaligus juga jadi tumpuan ekonomi.
Sejak 2016, Asppuk dan Yayasan Kehati melalui program Tropical Rainforest Conservation Action (TFCA) mendampingi masyarakat adat Dayak Iban. Program ini bertujuan melakukan konservasi tumbuhan pewarna alam di 11 kampung/dusun di Kecamatan Embaloh Hulu dan Batang Lupar, termasuk di Dusun Utik.
“Kami merestorasi kembali pengetahuan mereka tentang pewarna alam karena selama ini hanya penenun senior yang masih mengenal jenis tumbuhan pewarna alam ini. Beberapa tumbuhan juga sudah sulit ditemukan,” kata Salmiah.