Bahan Bakar Nabati dan Nuklir Paling Menjanjikan
PERAWATAN PANEL SURYA: Petugas melakukan perawatan panel surya di PLTS Terapung Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (16/3/2024). --
Komitmen dunia yang berkeinginan keras untuk menekan perubahan iklim dengan mengurangi produksi gas emisi karbon dari pembangkit listrik menciptakan peluang baru bagi listrik hijau ramah lingkungan.
Meski Indonesia memiliki sumber daya energi baru terbarukan yang melimpah, seperti matahari, angin, dan air, namun energi alternatif yang paling menjanjikan adalah bahan bakar nabati dan nuklir.
BRIN melihat, meski Indonesia adalah negara tropis yang mendapatkan sinar matahari 12 jam sepanjang tahun, tetapi efisiensi solar panel di Indonesia lebih rendah ketimbang negara subtropis di Australia dan Timur Tengah.
Ada banyak awan di Indonesia yang dapat menghambat produksi listrik pada solar panel. Indonesia adalah negara perairan yang panas, sehingga awan cepat terbentuk.
Listrik tenaga surya skala besar tidak cocok di Indonesia karena menghabiskan banyak lahan. Namun, solar panel untuk penerangan jalan umum yang bersifat independen dan skala kecil tergolong ideal diterapkan di Indonesia.
Listrik tenaga angin juga kurang efektif bagi Indonesia yang memiliki iklim muson. Bagi negara subtropis listrik tenaga angin justru bagus secara umum karena tekanan angin yang konsisten.
"Secara saintifik kami sudah tahu kalau (matahari dan angin) tantangannya cukup besar dibandingkan negara lain, sehingga kita harus berpikir yang khas Indonesia. Apakah kita mendorong biofuel? mungkin kalau PLTA juga berat karena pasti menenggelamkan area yang begitu luas dan mungkin merusak lingkungan," ucap Handoko menjelaskan.
Saat ini BRIN sedang melakukan proyek riset untuk memaksimalkan potensi perkebunan dan pertanian agar dapat menghasilkan bahan bakar nabati.
Minyak kelapa sawit atau crude palm oil, sorgum, bahkan jagung dapat menjadi bahan bakar pengganti untuk sektor transportasi. Pada 2013, pangsa bahan bakar nabati dalam energi primer hanya 0,56 persen. Sepuluh tahun setelah itu, pada 2023, jumlah bahan bakar nabati tercatat sebesar 4,54 persen,
Indonesia telah memiliki teknologi yang mapan untuk menghasilkan energi dari sumber daya nabati dan didukung area perkebunan dan pertanian yang sangat luas.
Peneliti Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN, Rizal Alamsyah, mengatakan teknologi pemrosesan biomassa menjadi bahan bakar nabati—produk cair maupun padat—telah mengalami perkembangan.
Konversi biomassa menjadi energi dapat melalui tiba cara, yakni konversi pembakaran langsung, konversi termokimia, dan konversi biokimia.
Kini teknologi bahan bakar nabati cair telah berkembang pesat dari generasi pertama yang menggunakan bahan baku utama hingga generasi ketiga memakai biomassa tanaman perairan. Bahkan, teknologi bahan bakar nabati kini telah memasuki generasi keempat yang mengonversi biomassa menjadi biohidrogen.
Ilmuwan meninggalkan jejak bagi peradaban selanjutnya dengan karya-karya yang mereka ukir pada dinding kitab ilmu pengetahuan. Tujuannya agar umat manusia terus mencari tahu, berpikir, berinovasi.
Teknologi Harus Matang