Waspadai Penyalahgunaan Data Orang Meninggal di TPS

Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja --

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO-Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, menekankan pentingnya mewaspadai potensi penyalahgunaan data orang yang telah meninggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), khususnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS)

Dalam acara Forum Koordinasi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) di Makassar, Sulawesi Selatan, Bagja mengingatkan bahwa kasus serupa pernah terjadi pada Pilkada 2020.

"Di Pilkada 2020, kami menghadapi kasus dimana orang yang telah meninggal masih memiliki surat suara dan tanda tangan hadir di daftar pemilih. KTP mereka digunakan orang lain dengan sengaja, terutama karena KTP sudah buram," ujar Bagja dalam forum tersebut yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemenko Polhukam RI.

Bagja menambahkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan pasca pemungutan suara, diketahui bahwa orang yang datanya disalahgunakan tersebut meninggal dunia 4 hari sebelum hari pemungutan suara. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi menginstruksikan untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS yang terkait.

BACA JUGA:Khawatir Data Pemilih Tak Valid Karena Bawaslu Tak Miliki Akses Data, KPU Sebut Sudah Sesuai Prosedur

BACA JUGA:Tim Alfin Bantah Ada Kesepakatan dengan Antos Terkait Pilwako Sungai Penuh

"Kejadian ini sungguh mengerikan dan hanya terjadi di Indonesia," tegas Ketua Bawaslu RI.

Untuk mencegah hal serupa, meskipun insiden ini sering terjadi dalam setiap pemilihan, KPU dan Bawaslu mengutamakan penduduk setempat sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan panitia pengawas.

"Penting bagi petugas KPPS untuk menjadi penduduk setempat agar mereka mengenal siapa yang seharusnya memilih di TPS pada saat pemungutan suara. Ini adalah kebijakan bijak KPU dan Bawaslu dalam memilih penyelenggara ad hoc di lapangan," jelas Bagja.

Bagja juga mengingatkan bahwa terdapat risiko pelanggaran selama proses rekapitulasi suara. Dia menyerukan kepada penyelenggara, termasuk pengawas di TPS, untuk mewaspadai kejadian suara kosong (nol).

"Jumlah suara kosong (nol) yang besar dalam rekapitulasi harus diperhatikan. Polisi dan jaksa perlu diberitahu untuk mengantisipasi agar bukan sekadar lelucon penyelenggara. Nol ini kadang-kadang bisa menjadi permasalahan serius," ungkapnya.

Bagja menegaskan bahwa pengaturan suara ini umumnya terjadi saat waktu-waktu rawan, seperti menjelang pagi ketika penyelenggara dan pengawas mulai mengalami kelelahan dan mengantuk.

"Pengawas yang mengantuk biasanya terjadi menjelang pagi saat rekapitulasi suara. Kemungkinan manipulasi dapat terjadi, terutama jika saksi sudah tidur. Ini adalah tren yang menjadi perhatian serius, terutama dalam konteks penyelenggara ad hoc," papar Bagja.

Di hadapan para polisi, jaksa, dan anggota Bawaslu dalam forum Gakkumdu, Bagja mengungkap bahwa ada total 5.334 kasus pelanggaran terkait Pilkada 2020 yang ditangani oleh Bawaslu. Dari jumlah tersebut, 1.532 kasus terkait pelanggaran administrasi, 292 kasus terkait pelanggaran kode etik, 182 kasus terkait pelanggaran pidana pemilihan, 1.570 kasus terkait pelanggaran hukum lain terkait pemilihan, dan 1.828 kasus dinyatakan bukan pelanggaran.

Tag
Share