Ritual budaya untuk menjaga kebun kopi warga tetap terjaga itu dimulai dengan melakukan doa bersama. Kemudian dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban dilakukan di atas janur yang telah disiapkan, untuk kemudian tetesan darah hewan kurban tersebut yang telah larut dalam air murni bersama janur dibagikan kepada masyarakat agar diletakkan di kebun kopi masing-masing.
Dengan harapan produksi kebun kopi akan melimpah ruah atas bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa, masyarakat desa yang dipimpin oleh tua-tua adat akan melakukan makan bersama sebagai bentuk memohon keberkahan serta rasa syukur atas rezeki yang dirasakan.
Ritual ini sudah menjadi budaya masyarakat setempat, sehingga tidak perlu ada pemberitahuan secara luas untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Masyarakat akan langsung melaksanakannya di waktu yang telah ditetapkan.
Seorang pegiat budaya Lampung Barat Anton Cabara Maas yang memiliki gelar adat Radin Menang Bertanding mengisahkan eratnya kebudayaan masyarakat Lampung Barat dengan kopi melalui tradisi Ngumbai yang telah ada sejak masa Kerajaan Sekala Brak di abad ke sembilan itu.
Ngumbai merupakan replikasi dari kebudayaan hindu aliran Bhairawa yang dianut Kerajaan Sekala Brak Kuno pada abad ketiga Masehi yang kala itu di bawah kepemimpinan Raja Buay Tumi dan pemimpin terakhirnya adalah Ratu Sekekhummong.
Kerajaan Skala Brak Kuno yang saat itu menyembah tanaman nangka bercabangkan sebuah tanaman sumber racun yaitu kayu Sebukau yang dikenal dengan sebutan 'Belasa Kepampang', melakukan ritual Ikhau pada malam bulan purnama ke 12 yaitu dengan pemberian persembahan seorang gadis paling cantik di pekon kepada dewa.
Namun, setelah Islam masuk melalui Paksi Pak Sekala Brak ritual Ikhau berubah menjadi 'Ngumbai'. Warga pekon bukan mempersembahkan seorang gadis melainkan hewan kurban dalam rangka memohon keberkahan bagi panen kopi pekon.
"Memang kopi ini tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat Lampung Barat sejak dahulu, terlebih lagi budaya Ngumbai ini masih terus dilestarikan sebagai budaya adiluhung sekaligus melestarikan budaya warisan nenek moyang yang sangat menghargai kehadiran tanaman kopi sebagai penopang kehidupan,” ujar pria kelahiran 1965 tersebut.
Tak hanya dari budaya Ngumbai dan kebiasaan wajib menyajikan kopi sebagai minuman selamat datang bagi tamu yang berkunjung ke setiap rumah warga Lampung Barat, tapi warga lokal memiliki beragam perbendaharaan kata atau kosakata, sebutan hingga cara mengelola tanaman kopi yang dilakukan sejak tempo dulu.
Tuagh Saghak, yang terdiri dari kata Tuagh yaitu menebang dan Saghak merobek, merupakan cara lama para petani di Lampung Barat dalam merawat tanaman kopinya, meski kini sudah tidak digunakan karena dinilai kurang maksimal meningkatkan produktivitas tanaman kopi. Cara itu tetap diceritakan kepada siapa saja yang ingin belajar budi daya kopi Lampung Barat sebagai bentuk menjaga cara-cara tradisional tersebut.
Salah seorang pensiunan guru yang telah menjadi petani kopi sejak 1983, H Muhammad Pesi, menjelaskan bahwa masyarakat di Lampung Barat tidak bisa melepaskan kopi dari kehidupannya sebab telah banyak memberikan kontribusi bagi kehidupan mereka.
“Melalui kopi ini kita bisa menyekolahkan anak sampai sarjana, bisa beli rumah. Karena sudah jadi bagian dari kehidupan sampai setiap proses pengelolaan dan pengolahan kopi ada Bahasa Lampung-nya sendiri,” ujar pria yang telah berusia senja dengan logat Lampung kental.
Kinjagh misalnya, merupakan wadah kopi yang terbuat dari rotan dan biasa digunakan oleh petani kopi saat nyalakh atau memetik kopi. Sedangkan nyessau, sebutan untuk memotong dahan dari pohon kopi stek tunas (penyambungan tunas kopi bagian pangkal pohon dengan tunas dari bibit), dan ngeranting merupakan kegiatan pemotongan ranting pohon kopi stek pappang (cara menyambungkan tunas kopi bagian tengah pohon disambung dengan tunas bibit).
"Semua ada Bahasa Lampung-nya, karena sangat pentingnya kopi bagi kami. Rumah pun telah diperhitungkan selalu memiliki pekarangan depan yang luas untuk menjemur kopi," tambahnya.
Hubungan erat antara budi daya kopi dan kebudayaan masyarakat Lampung Barat tersebut telah menunjukkan bahwa masyarakat setempat tetap menjaga budayanya di tengah perkembangan zaman.
Potensi sebuah komoditas akan terus melekat kepada kehidupan masyarakatnya karena dampak positif yang diberikan. Hal itu berpotensi untuk dikembangkan menjadi komodifikasi budaya guna menarik wisatawan ke daerah tersebut sembari tetap melestarikan budayanya. Kopi dan budaya masyarakat Lampung Barat, seperti sudah tak bisa terpisahkan. (ant)