Lokasi tersebut menurut Anisah dekat dengan rumahnya sehingga ia dan keluarga tidak membutuhkan waktu lama untuk datang ke restoran dari rumah. Lokasi itu juga dekat dengan kompleks stadion Olimpiade Beijing sehingga banyak turis yang dapat menjadi "market" ditambah dengan manajemen gedung yang rapi dan bersih.
Namun tak banyak perkantoran di tempat baru Nom Nom, pun perumahan di sekitar restoran termasuk elit, tapi hanya didatangi pada akhir pekan karena penghuninya bekerja di tengah kota Beijing sehingga pada hari kerja, pengunjung tak terlalu banyak, tapi sebaliknya pada akhir pekan Nom Nom selalu dipadati peminat.
Restoran Nom Nom yang buka pukul 11.00 dan tutup 20.30 waktu setempat itu bisa menampung 30-40 orang pengunjung pada waktu bersamaan.
Nom Nom juga punya dua dapur di lantai satu dan dua. Dapur bersih ada di lantai satu yaitu lokasi penyajian makanan, sedangkan dapur kotor ada di lantai dua, yang digunakan mulai dari mengupas bawang, mengolah daging, menumis bumbu dan lainnya.
Pemisahan dapur tersebut kata Anisah, bertujuan agar pengunjung tidak terganggu dengan bau maupun suara saat proses memasak.
Banyak pengunjung Nom Nom, menurut Anisah, adalah pengunjung lama yang mengajak teman-teman dan keluarganya. Ada pengunjung yang tadinya pelajar, kemudian menikah dan punya anak tetap datang ke Nom Nom meski restoran itu sudah pindah lokasi. Anisah pun kerap meluangkan waktu untuk ngobrol dengan pengunjung di restoran.
Para pelanggan juga lebih memilih untuk makan langsung di restoran dibanding "delivery" menggunakan aplikasi pemesanan makanan online China seperti Meituan, Eleme yang sejenis dengan GoFood dan GrabFood Indonesia.
Hal itu dimaklumi karena lokasi Nom Nom yang agak di pinggir kota sehingga bila memilih cara pesan-antar maka makanan akan dingin di jalan dan ongkos antarnya juga akan cukup mahal, tapi kelebihannya, Nom Nom menjadi lokasi pertemuan sambil menjajal makanan Indonesia.
Untuk menu favorit, Anisah menyebut orang dari Asia Tenggara suka ayam kremes, anak muda China suka berbagai hidangan dari ayam sementara orang-orang tua China memilih rendang sapi.
Autensitas Rasa Indonesia
Meski begitu, Anisah mengakui bahwa bisnisnya masih belum pada posisi seperti sebelum pandemi COVID-19.
"Saat ini sebenarnya bisnis masih naik turun, kalau sebelum COVID-19, pelanggan bisa antri untuk masuk. Dulu juga kami bisa masak hingga ratusan ayam sehari, sedangkan saat ini tidak sampai seratus sehari, harga bahan-bahan juga naik," ungkap Anisah.
Apalagi tipe orang lokal di Beijing, menurut Anisah, bukan masyarakat yang royal untuk jajan makanan seperti mereka yang tinggal di China bagian selatan seperti Shanghai.
"Di Beijing kadang orang patok maksimal untuk makan 15-20 yuan, karena mereka juga sudah dapat makan siang dan makan sore dari kantor. Padahal harga di Nom Nom bisa di atas 40 yuan, jadi kami tidak bisa saingan untuk harga, hanya tetap menjaga rasa," kata Anisah.
Soal rasa itu juga menjadi salah satu tantangan. Menurut Anisah, makanan Indonesia di Beijing bersaing dengan Thailand dan Vietnam yang sudah lebih terkenal dan tersedia di banyak restoran. Sedangkan restoran Indonesia baru ada di Nom Nom dan Warisan Roemah Indonesia (WRI) yang baru buka pada Maret 2024.
Karena peminat dan pasar makanan Thailand lebih banyak, maka bahan baku makanan Thailand pun dapat lebih mudah masuk ke China, dan harga makanan juga dapat bersaing.