"Yang punya masyarakat ini kan pemerintah daerah. Ketika kami melarang atau melakukan tindakan hukum ke masyarakat, otomatis peran pemerintah daerah hilang di situ. Maka kami selalu melakukan pendekatan ke pemerintah daerah dan masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, penegakan hukum menjadi jalan terakhir yang dilakukan setelah sosialisasi dan peringatan tidak diacuhkan oleh pihak-pihak tersebut, terutama mereka yang masuk ke dalam kawasan untuk tujuan merusak.
Interaksi negatif juga tercatat di wilayah kawasan konservasi tersebut, terutama di pinggir kawasan, yang kebanyakan melibatkan ternak masyarakat desa. Hal ini biasanya terjadi ketika kondisi kekeringan dan berkurangnya satwa yang menjadi mangsa harimau.
Untungnya, sebagian masyarakat yang berada di wilayah tersebut sudah mulai memahami pentingnya hidup berdampingan dan berbagi ruang dengan satwa, terutama masyarakat asli yang memiliki kearifan lokal dengan harimau. Warga memanggil harimau dengan nama "datuk", sebuah gelar yang diberikan oleh orang dihormati atau dituakan.
Beberapa tokoh adat bahkan menjadi penghubung yang melaporkan ketika mendengar auman harimau dari dalam hutan. Melaporkannya sebagai penanda ada suatu kejadian di hutan, entah sumber air yang mengering atau mungkin keberadaan api.
Bahkan terdapat juga tradisi di sebuah desa dekat TN Berbak, untuk meletakkan jeroan dari hewan yang dipotong saat mengadakan pesta atau kenduri, di beberapa titik yang dipercaya masyarakat akan diambil oleh harimau.
Harmoni tersebut terus dipelihara tidak hanya oleh pihak TNBS tapi juga pemerintah setempat, sebagai salah satu cara menjaga eksistensi harimau sekaligus menerapkan hidup berdampingan dengan satwa liar.
Kolaborasi Konservasi
Untuk mencegah agar harimau sumatera tidak hanya menjadi kenangan di buku-buku sejarah, upaya konservasi perlu terus ditingkatkan bersamaan dengan pendekatan baru dalam penanganan konflik harimau dan manusia.
Ketua Forum Harimau Kita, Erni Suyanti, menjelaskan bahwa interaksi negatif sebagian besar terjadi karena aktivitas manusia, misalnya, akibat adanya perubahan tutupan hutan dan pergerakan manusia di habitat harimau, seperti di kawasan untuk perkebunan dan pertambangan.
Selain itu juga terdapat faktor dari harimau itu sendiri. Contohnya, ketika individu harimau sakit cenderung mengalami kesulitan berburu serta individu jantan muda yang memiliki wilayah jelajah baru, cenderung mengalami konflik dengan manusia atau ternak.
Untuk menangani konflik manusia dengan satwa, perlu mengetahui secara pasti faktor-faktor yang memengaruhi kejadian di wilayah tersebut karena setiap kasus memiliki penyebab dan permasalahan yang berbeda. Oleh karena itu, kolaborasi perlu terus dilakukan untuk mencegah konflik manusia dan satwa tersebut.
KLHK sendiri sudah merilis panduan penanggulangan konflik harimau pada 2017, bekerja sama dengan Forum Harimau Kita.
Senior Management Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), Ardi Bayu Firmansyah, menyatakan terkait upaya konservasi, perlu adanya kerja sama yang baik antara Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, pihak swasta, dan berbagai unsur masyarakat.
Kolaborasi yang dilakukan TWNC dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, misalnya, telah berhasil dilakukan dalam bentuk monitoring populasi harimau sejak 2012. Pada awal, mereka berhasil mengidentifikasi 24 individu harimau di kawasan tersebut dan sampai saat ini sudah teridentifikasi lebih dari 50 individu.
Mereka juga bekerja sama untuk melakukan rehabilitasi harimau yang berkonflik dengan manusia dan cedera akibat berbagai alasan serta pelepasliaran ke alam. Sejak tahun 2008 sudah dilakukan rehabilitasi terhadap 13 individu dan dilepasliarkan tujuh individu.