JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO-Ronny Purwadi, Ahli Proses Konversi Biomassa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengungkapkan bahwa kendaraan berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT), terutama bioetanol, merupakan pilihan yang tepat untuk mengurangi emisi.
Dalam diskusi media di fasilitas manufaktur Toyota di Karawang, Jawa Barat sebagaimana dikutip jambiekspres.co dari Antara, Ronny menjelaskan bahwa penggunaan bahan bakar fosil perlu dikurangi untuk menstabilkan kebutuhan energi dan mengurangi dampak gas rumah kaca.
"Supaya tidak menjadi panas, gas rumah kaca harus dibatasi, maka penggunaan bahan bakar fosil ini harus dikurangi. Untuk menjaga stabilitas kebutuhan bahan bakar, maka harus ada energi baru yang siklusnya lebih cepat, yaitu EBT," katanya.
BACA JUGA:Indonesia Butuh Investasi 14,2 Miliar Dolar AS untuk Pacu Kapasitas Energi Terbarukan 8,2 GW
BACA JUGA:Indonesia Ingin Jadi Eksportir Energi Hijau di Masa Depan
Ia menambahkan bahwa meskipun ada banyak sumber EBT seperti geotermal, nuklir, dan surya, bioetanol menjadi pilihan relevan mengingat sebagian besar kendaraan saat ini menggunakan bensin.
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, termasuk peningkatan penggunaan biodiesel.
Namun, Ronny menggarisbawahi bahwa biodiesel berbasis minyak sawit hanya satu solusi dan bioetanol menjadi semakin penting karena mayoritas bahan bakar yang dibutuhkan adalah bensin.
"EBT sudah banyak ada geotermal, ada energi nuklir, ada energi surya, lalu kenapa harus biofuel? Bahwa kendaraan kita itu hampir seluruhnya menggunakan bensin. Kalau mau diganti dengan EV (kendaraan listrik) berarti kita harus buang semua mobil, kita ganti baru dengan EV," ujarnya.
BACA JUGA:Indonesia Kembangkan Hilirisasi Energi Baru Terbarukan di Afrika
BACA JUGA:Dulu Dianggap Limbah, Kini Jadi Energi Alternatif
Bioetanol memiliki beberapa keuntungan, termasuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, menurunkan emisi gas rumah kaca, serta mendukung ketahanan energi nasional.
Selain itu, bioetanol dapat digunakan pada kendaraan yang umumnya menggunakan bensin dan memanfaatkan limbah organik, serta mendorong perekonomian melalui penciptaan lapangan kerja baru.
Dengan pengembangan teknologi bioetanol yang terus berkembang, diharapkan bioetanol dapat menjadi solusi lebih luas dan efektif dalam menghadapi tantangan energi dan perubahan iklim di Indonesia.
"Jadi kita memang harus membuat biofuel yang masih kompatibel dengan kendaraan kita yang ada sekarang ini. Upaya untuk menggantikan sebagian bensin ini, dengan bahan-bahan yang kompatibel salah satunya itu adalah bioetanol," imbuh Ronny.
Saat ini, bioetanol diproduksi dari bahan baku seperti gula dan pati, dan meskipun produksinya dapat menggunakan bahan pangan dan non-pangan seperti jagung dan singkong, produksi bioetanol masih terbatas.
BACA JUGA:Kementerian ESDM Genjot Pengurangan Emisi Melalui Manajemen Energi
BACA JUGA:Pastikan Suplai Energi Terjangkau Bagi Kendaraan Listrik
Bioetanol saat ini hanya digunakan sebagai campuran E05 di Jakarta dan Surabaya, sementara kebutuhan bensin nasional mencapai 29 juta kiloliter per tahun.
Produksi bioetanol di Indonesia baru mencapai 34.500 kiloliter, menunjukkan perlunya percepatan pengembangan bioetanol untuk memenuhi target bauran energi terbarukan yang ditetapkan pemerintah. (*)