Dengan dua hal mulia itu dia selalu mendorong Indonesia tak berpihak kepada siapa pun, kecuali untuk kepentingan rakyatnya, tapi aktif dalam perdamaian dan kerjasama dunia.
Saat mendirikan Kantor Berita Antara, pemikirannya yang sangat anti-kolonialisme telah mendorongnya membuat lembaga pers yang memperjuangkan masyarakatnya yang pada 17 Agustus 1945 mengikat diri menjadi Republik Indonesia.
Adam Malik pula yang menjadi salah seorang pemuda revolusioner yang menginginkan kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan, sampai Soekarno dan Mohammad Hatta diculik para pemuda termasuk Adam Malik, ke Rengasdengklok di Karawang sehari sebelum Kemerdekaan RI akhirnya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 pagi di Pegangsaan Timur, Jakarta.
Namun, semasa Adam Malik pula hubungan Indonesia-Belanda dinormalisasi pada 1968, setelah delapan tahun sebelumnya pada 1960 Bung Karno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.
Bung Karno sendiri sering berseberangan dengan Adam Malik, tapi dia beberapa kali melibatkan juniornya itu dalam kabinetnya, termasuk menjadi duta besar untuk Uni Soviet dan menteri perdagangan.
Tapi Adam Malik mulai menjaga jarak dari Bung Karno manakala dia mendapati Indonesia sudah terlalu condong kepada RRC, yang membuatnya merasa Indonesia tak lagi tak berpihak.
Tetapi begitu membangun kembali pemerintahan bersama Orde Baru, Adam Malik pula yang aktif mendorong RRC mengisi kursi PBB yang sebelumnya diisi Taiwan.
Sejumlah kalangan, termasuk di Barat, menilai bahwa dengan turut memperjuangkan RRC mengisi kursi PBB, maka hubungan Indonesia-RRC yang sempat dibekukan oleh Orde Baru pada 1967, akan terdorong mencair lagi.
Pembekuan itu sendiri dianggap telah membatasi manuver Indonesia di Asia Tenggara sebagai juru runding Blok Barat dan Timur di kawasan itu.
Cara terhadap RRC itu agak mirip dengan cara Adam Malik memimpin diplomasi Indonesia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, yang lalu memuluskan jalan bagi terbentuknya persatuan kawasan dalam kerangka ASEAN.
Lain dari itu, Adam Malik menjadi salah satu dari sedikit tokoh yang berperan besar dalam membujuk kreditor-kreditor asing memberi keringanan waktu selama 30 tahun untuk membayar utang senilai 3 miliar dolar AS (kurs saat itu) warisan Orde Lama.
Dengan jejak-jejak mulia nan besar seperti itu, pantas saja Adam Malik dianugerahi banyak penghargaan, termasuk Pahlawan Nasional pada 1998.
Dia pantas mendapatkan semua penghargaan itu, terutama karena jasanya dalam memuliakan dan mempraktikkan nilai-nilai asli masyarakat Nusantara yang toleran dan inklusif, tapi selalu siap berkorban bagi sesamanya.
Tapi penghargaan untuk Adam Malik dan orang-orang besar sebelum dan setelah dia, tak boleh berhenti pada medali, piagam atau monumen, tapi juga kepada upaya melestarikan nilai-nilai yang mereka wariskan, khususnya nasionalisme, patriotisme, toleransi, pemikiran inklusif, dan pandangan jauh ke depan. (*)