Setelah seluruh keberaniannya dikumpulkan, Teguh pun melalui jalanan yang kini sudah seperti kota mati dengan tumpukan abu dan pasir vulkanis Lewotobi. Beruntung baginya, perjalanan pulang pergi Lewolaga-Boru berhasil dilalui dengan selamat. Seluruh peralatan dan perlengkapan warungnya pun berhasil ia pindahkan ke lokasi baru jualannya di Lewolaga. Harapan pun terus tumbuh.
Keberuntungan pun menyertai keluarga Teguh. Tak lama setelah warung makannya buka, para pelanggan berdatangan. “Pelanggan-pelanggan lama kami pun mulai berdatangan setelah mereka tahu kami pindah ke sini,” kata Teguh. Dagangan bakso, ayam lalapan, soto, serta es cendolnya laris manis dan kini menjadi primadona baru bagi warga setempat, pengungsi, maupun para relawan di Lewolaga.
Meski mulai laris di pengungsian, Teguh belum berniat untuk menetap berjualan di Lewolaga. “Saya masih menunggu kepastian dari pemerintah, jadi merelokasi kami atau tidak,” katanya. Ia mengaku siap untuk dipindah ke kawasan yang lebih aman.
Seperti halnya Teguh, pengungsi lainnya asal Desa Boru, Yeny Dahlia pun juga tak ingin hanya berpangku tangan di pengungsian. Tak hanya karena untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, tekadnya untuk kembali menjalankan roda perekonomiannya juga dilakukan untuk membayar cicilan kredit-kredit usaha yang ia telah ajukan ke bank sebelumnya.
Oleh karena itu, selang sepekan mengungsi Yeny pun mencari lokasi kios pulsa dan aksesoris telepon genggam yang telah ia bangun sejak 2013. Beruntung bagi dirinya, tak butuh waktu lama salah satu saudagar yang memiliki toko sembako di Desa Kobasoma, tempat Yeny mengungsi, berkenan meminjamkan ruang untuk berjualan. Setelah itu Yeny lekas memindahkan semua peralatan dan barang dagangannya dari Boru ke Kobasoma.
Sebelumya, ia juga tak menyangka erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki berdampak begitu besar terhadap masyarakat dki sekitarnya, termasuk dirinya. Baginya sebelum erupsi November ini, Gunung Lewotobi Laki-laki mengeluarkan asap adalah hal yang biasa.
“Pada erupsi Januari 2024 lalu saya pun sempat mengungsi, namun tak lama saya bisa kembali lagi ke Boru dan berjualan lagi,” kata Yeny. Namun, kini situasinya jauh berbeda. Bahkan, pemerintah telah menetapkan Boru masuk sebagai satu dari 15 dari desa yang akan direlokasi karena termasuk ke dalam zona berbahaya, dengan radius kurang dari tujuh kilometer dari pusat erupsi Lewotobi Laki-laki.
Yeny pun mulai realistis bahwa sangat kecil kemungkinan ia bisa kembali membuka usahanya di Boru. Sembari menunggu kepastian dari pemerintah tentang kelanjutan wacana relokasi tersebut, Yeny akan berjualan di daerah pengungsiannya di Kobasoma. “Saya yakin rencana Tuhan lebih baik untuk saya meski saat ini kami diuji dengan bencana ini,” kata Yeny.
Setali tiga uang dengan Teguh dan Yeny, pengungsi lainnya, Andriyandi dan istrinya, Neng Lis Soviyawati, pun sempat mengalami kebimbangan setelah terdampak dari erupsi Lewotobi Laki-laki ini. Bagaimana tidak, Andri dan Neng baru saja tiba di Flores Timur ini tiga bulan lalu bersama seorang putra mereka dari Padang Pariaman, Sumatera Barat.
"Sebelum berangkat merantau ke sini, saya sebetulnya tahu Lewotobi Laki-laki sempat erupsi pada Januari 2024,” kata Andriyandi. Akan tetapi, ia tidak menyangka erupsi pada November ini terulang lagi jauh lebih besar dan lama. Sempat terpikirkan oleh dirinya untuk kembali ke daerah asal mereka di Tanah Minang. Akan tetapi, mereka masih berupaya mengais sisa harapan di Flores ini.
Bermodal mobil toko sembako yang dipinjam dari saudaranya, Andri dan istrinya berjualan di tepi jalan Trans Flores, Desa Kobasoma tempat mereka mengungsi. Lalu lalang warga dan terutama relawan yang melalui jalan nasional tersebut membuat mobil toko Andriyandi juga kecipratan rezeki. Banyak orang yang mampir berbelanja, baik sekadar membeli minuman sebagai penyembuh dahaga di tengah panas cuaca Flores maupun membeli kebutuhan sehari-hari.
Meski belum tahu sampai kapan, Andriyandi berharap situasi segera membaik dan mereka bisa kembali merajut mimpi mereka di Flores. Kini, mereka masih ingin berusaha mandiri di tengah kesulitan dalam pengungsian. “Sisanya, kami pasrahkan kepada Allah,” kata Andriyandi.
Sementara itu, berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah pengungsi akibat erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki hingga Selasa, 12 November 2024 mencapai 13.116 jiwa. Para pengungsi tersebut kini tersebar di delapan titik pengungsian.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menyebutkan akan menyiapkan sekitar 2.700 rumah bagi masyarakat terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Saat ini pemerintah terlebih dahulu mencari wilayah yang tepat untuk pembangunannya. Kebijakan pemerintah atas relokasi yang tepat kini menjadi harapan besar yang dinantikan oleh Teguh, Yeny, Andri, dan ribuan warga terdampak Lewotobi Laki-laki agar mereka bisa lekas bangkit dan menata masa depan keluarga mereka.(*)