Sekilas, ide desain Arta pada situs bangunan Rumah Si Pitung tampak memungkinkan diwujudkan. Namun, ada pertimbangan, salah satunya luasan lahan.
Arkeolog sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta Candrian Attahiyyat pengembangan bisa saja dilakukan seperti penambahan kafe dan museum. Menurut dia, eksekusinya mungkin tidak seluas desain yang disodorkan. Ini mengingat luas lahan situs Rumah Si Pitung relatif sempit.
Dia berpendapat penambahan-penambahan unsur apalagi yang berbau kekinian pada bangunan cagar budaya sangat dimungkinkan, apalagi bila peruntukan pemanfaatannya untuk publik.
Candrian menyebut penerapan adaptasi fungsi baru (adaptive reuse). Penerapan adaptive reuse digunakan sebagai salah satu cara untuk melestarikan bangunan cagar budaya agar bisa dimanfaatkan kembali.
Bagi dia, ini merupakan salah satu cara menghidupkan tempat yang dulunya dikenang hebat, kemudian dikembangkan untuk publik.
"Bukan berarti bangunan diacak-acak 100 persen. Ada yang namanya adaptive reuse, sesuatu yang kekinian, boleh, silahkan," ujar dia.
Gedung Filateli di Jalan Pos Nomor 2, Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat satu contohnya. Kompleks bangunan seluas 7.000 meter persegi yang menyimpan sejarah perjalanan pos di Indonesia tersebut kini berubah menjadi tempat berkumpul anak muda, UMKM, komunitas, dan seniman.
Hanya saja, ada prinsip yang harus dipegang, yakni bangunan tetap harus dijaga bentuk aslinya, jangan sampai ditutupi sesuatu atau bahkan diubah.
Di sisi lain, bagai gayung bersambut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Unit Pengelola (UP) Museum Kebaharian Jakarta menyambut positif ide memasukkan unsur kekinian bagi bangunan cagar budaya.
Kepala UP Museum Kebaharian Jakarta, Mis’ari mengatakan ini demi mendorong generasi muda jatuh cinta pada cagar budaya dan ikut melestarikannya.
Menurut dia, guna menarik minat dan kecintaan generasi muda pada cagar budaya, maka pada bangunan cagar budaya, misalnya, perlu ditambahkan sesuatu yang sesuai dengan jiwa kekinian mereka.
Namun, senada dengan Candrian, penambahan unsur baru tersebut harus mempertahankan bentuk visual cagar budaya yang menjadi sasaran. Bangunan cagar budaya bisa dibuat cantik, kekinian, tetapi tetap mempertahankan kecagarbudayaannya, kata Mis'ari.
Ide kekinian dari Arta bagi Rumah Si Pitung memang baru sebatas desain dan masih perlu berbagai pembahasan dari berbagai sisi termasuk aristektural.
Namun, bukan hal mustahil dalam beberapa waktu ke depan, kafe estetik sebagai tempat 'kongkow' anak muda, dihadirkan di kawasan Rumah Si Pitung.
Penambahan unsur kekinian pada bangunan cagar budaya, seperti yang diusulkan untuk Rumah Si Pitung, membuka peluang bagi generasi muda untuk lebih mengenal, menghargai, dan melestarikan warisan sejarah. Dengan pendekatan adaptive reuse, bangunan-bangunan bersejarah dapat tetap hidup, relevan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Namun, pelestarian harus tetap menjaga keaslian visual dan nilai historisnya. Jika dieksekusi dengan bijak, ide ini tidak hanya akan menghidupkan kembali memori sejarah tetapi juga menjadikannya bagian integral dari kehidupan masa kini.