Karya tersebut diciptakan padahal ia tidak pernah datang ke Batavia. Merujuk buku "Westzijdsche Pakhuizen Batavia 1652-1977”, dari Gudang Barat hingga Museum Bahari" (2023), diduga lukisan karya Hendrick merupakan pesanan untuk memberikan gambaran tentang kota.
Ini karena hingga empat tahun setelah J.P Coen datang ke Batavia, tak ada orang Belanda yang datang. Akhirnya, dia mempekerjakan banyak pelukis dan seniman Belanda untuk membayangkan Batavia. Ini seperti yang dikisahkan Susan Blackburn dalam buku berjudul "Jakarta: Sejarah 400 Tahun".
Selanjutnya, pada bagian kedua pameran, "Rempah-rempah dan Infrastruktur Hidrokolonial”, ditampilkan arsip-arsip tentang beragam upaya pembangunan infrastruktur pelabuhan untuk kepentingan perdagangan dan pertahanan kolonial, seperti syahbandar, galangan kapal, pelurusan kanal, benteng, dan sebagainya.
Pada bagian ini, Rifandi mengisahkan infrastruktur kanal yang dibangun Belanda, sembari menyelipkan pesan untuk tidak melihat Batavia terlalu romantis sebagai kota kanal.
Pemerintah kolonial Belanda kala itu membangun kota dengan kanal seperti di Belanda. Namun, mereka tak paham kondisi Batavia yang tropis, diterpa angin dan hujan kencang, serta memiliki aliran sungai yang deras sehingga bukannya mengantisipasi banjir, kanal malah membuat kota kebanjiran.
Ada pula sebuah gambar pada media kain yang memperlihatkan peta kota dengan Sungai Ciliwung pada tahun 1628. Di sana, tampak sungai masih berkelok-kelok dengan permukiman di bagian sisi timur.
Namun, pada tahun 1764, sungai diluruskan menjadi kanal dan, konon, itulah yang konon menyebabkan banjir.
Selain tentang kanal, sistem pengelolaan air di daerah dataran rendah atau polder juga ditampilkan.
Pada bagian ini, pengunjung juga diajak mengingat kembali tiga rempah Indonesia yakni lada, pala, dan cengkeh yang paling banyak dieksploitasi Belanda untuk diekspor ke Eropa. Di Eropa, rempah ini dijadikan produk dan terkadang dibawa ke Indonesia dengan bangga.
Seniman visual Hauritsa mengisahkannya melalui produk fiktif karyanya, termasuk parfum, sirup, dan obat.
Berikutnya, bagian ketiga pameran berjudul “Gudang dan Kota di Lahan Basah”, menampilkan serangkaian arsip tentang logika kota, tata kota, dan sistem arsitektur.
Sebagai pusat administrasi perusahaan dagang Belanda untuk kawasan Asia dan Timur Jauh, Batavia dilengkapi dengan berbagai bangunan pergudangan. Gudang-gudang ini merupakan satu kesatuan dengan kanal sehingga sebagian besar gudang dibangun di tepi kanal guna memudahkan pengangkutan dan bongkar muat.
Salah satunya Gudang Barat untuk menyimpan rempah-rempah. Lokasinya hanya berjarak 15 meter dari tepi kanal. Gudang Barat terdiri atas dua bagian yakni yang menghadap sisi utara dan menghadap sisi timur laut (sekarang menjadi Museum Bahari).
Gudang Barat berada di muara Sungai Ciliwung dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Gudang Barat di sisi timur laut terhubung dengan kawasan Pasar Ikan melalui jembatan jungkit yang kemudian diganti dengan jalan penghubung.
Fungsi gudang untuk menyimpan komoditas rempah berakhir mengikuti kejatuhan dan kebangkrutan VOC di akhir abad ke-18. Pada 24 Desember 1795, pemerintah Belanda yang mengambil alih manajemen VOC, menjadikan Gudang Barat sebagai bangunan untuk menyimpan komoditas kopi.