"Ini mesti dikendalikan, jika tidak Inflasi bisa meningkat juga," kata pria yang menjabat Direktur Pascasarjana Universitas Jambi ini.
Ditanya apakah sebanding kenaikan UMP dengan PPN ini?, Hariyadi tak menjawab pasti. Menurutnya, kedua hal itu merupakan kontradiksi. Karena UMP meningkatkan daya beli dan PPN bisa menjadi faktor pelemah daya beli masyarakat.
"Kalau UMP yang naik itu kan bisa menyebabkan geliat ekonomi dan daya beli meningkat. Dan bisa-bisa jika sudah terjadi dan masyarakat mengalami sulitnya dampak kenaikan PPN, ada aspirasi kenaikan UMP kembali nantinya," jelasnya.
Sebelumnya, Pemerintah resmi menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, penetapan PPN 12 persen sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Sesuai dengan amanah Undang-Undang tentang Harmoni Peraturan Perpajakan, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari (2025),” kata Airlangga dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Jakarta, Senin.
Meskipun demikian, untuk barang dan jasa yang bersifat strategis, pemerintah tetap melanjutkan pemberian fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN.
Airlangga merinci, pemerintah bakal memberikan fasilitas dengan membebaskan PPN untuk sebagian barang kebutuhan pokok dan barang penting (bapokting).
Airlangga menambahkan bahan kebutuhan pokok yang mendapatkan fasilitas bebas PPN telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020. Dalam aturan itu, barang dan jasa yang termasuk di antaranya adalah beras, daging, ikan, telur, sayuran, susu, gula konsumsi.
Selanjutnya, ada layanan jasa seperti pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, asuransi, vaksin polio, hingga penggunaan air yang juga dikenakan tarif PPN nol persen alias bebas PPN.
"Jadi barang yang seperti kebutuhan pokok seluruhnya bebas PPN," ucapnya. (*)