"Hari ini memang hari kelahiran saya tapi bukan hari ulang tahun saya," ujar Kwik Kian Gie menyambut kedatangan saya di rumahnya kemarin. Yakni di bagian dalam kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan.
Kwik lahir 9 Januari 1935. Yakni di kota kecil yang terbesar saat itu: Juwana, Jateng. Kota pelabuhan yang amat terkenal saat itu.
Orang tua Kwik baru bisa mendaftarkan kelahiran itu besok lusanya: tanggal 11 Januari. Itu karena tempat pendaftaran penduduk hanya ada di kota Pati.
Maka kantor catatan sipil di Pati menuliskan tanggal kelahiran Kwik 11 Januari.
"Jadi ulang tahunnya 11 Januari?" tanya saya.
"Iya. Besok lusa," jawab Kwik kemarin. "Khusus tahun ini tidak ada perayaan ulang tahun. Kan sudah tua begini. Sudah 90 tahun," tambahnya.
Istri Kwik sudah lebih dulu meninggal dunia. Tiga tahun lalu. Tiga anaknya sudah berumah tangga semua. Mereka memberi Kwik tujuh cucu. Anak tertua, satu-satunya laki-laki, tinggal di Belanda. Anak-anaknya sekolah di sana.
Kwik masih cukup sehat –untuk ukuran orang berumur 90 tahun. Waktu saya tiba di rumahnya ia baru saja selesai cek darah. "Liver saya sudah payah. Dulu kebanyakan minum alkohol," katanya.
"Banyak yang tidak minum alkohol tidak bisa berumur 90 tahun," celetuk saya.
"Sekarang saya sudah berhenti merokok dan minum alkohol," katanya.
Kwik, mantan menko Ekuin dan ketua Bappenas itu, masih mampu berpikir jernih. Ingatan masa lalunya masih terang. Masih bisa bercerita soal masa pacarannya di Belanda, masanya jadi pengusaha real estate dan awal persahabatannya dengan Megawati.
Ia juga masih mengikuti perkembangan politik masa kini. Termasuk perkembangan di PDI-Perjuangan.
"Pak Kwik kan orang terkenal pertama yang meninggalkan PDI-Perjuangan. Kenapa?"
"Saya tidak pernah keluar dari PDI-Perjuangan. Pun sampai sekarang," katanya. "Saya dan Mbak Mega itu masuk PDI-nya bersamaan. Sama-sama tahun 1994," katanya.
Hubungannya dengan Mega, katanya, sudah seperti keluarga. Kwik bisa ke rumah Mega kapan saja. Tanpa harus bikin janji. Ngobrol. Makan bersama.