Mereka sudah menjalani hukuman itu. Sudah selesai. Rupanya mereka tidak naik banding. Mereka terima hukuman itu. Mereka jalani.
Tentu Antam puas tapi tidak dapat apa-apa dari mereka. Padahal gara-gara mereka Antam jadi punya utang Rp 1,2 triliun.
Maka Antam kembali mengadukan mereka. Kali ini bukan pidana biasa, tapi pidana korupsi. Di urusan yang sama tapi bukti yang lain: membuat kerugian negara Rp 152 miliar.
Sidang tipikornya pun sudah berjalan. Pengacara Retno Chandra SH yang kembali jadi pengacara mereka.
Hari Jumat kemarin adalah pembacaan tuntutan jaksa: EksiAnggraeni dituntut hukuman 10 tahun penjara.
Kalau pun nanti Eksi diputus bersalah –dan masuk penjara lagi– apa yang bisa didapat Antam? Akankah bukti bahwa ada unsur korupsi dalam kasus ini bisa dipakai untuk melawan PKPU?
Rupanya itulah taktik yang sedang dipakai Antam. Agar terhindar dari kewajiban membayar utang seperti yang sudah diputuskan pengadilan.
Kalau perkara korupsi itu bisa menjadi celah hukum berarti akan ada adu cepat: mana lebih dulu diputuskan. Putusan pengadilan niaga atau putusan pengadilan tipikor.
Putusan PKPU, kalau tidak bisa diulur, akan terjadi sekitar 15 hari lagi. Nasib Antam ditentukan dalam 15 hari.
Sedang putusan pengadilan tipikor masih harus menunggu proses berikut ini: terdakwa Eksi akan mengajukan duplik. Itu haknyi. Mungkin 7 hari lagi. Lalu jaksa mengajukan replik. Agar bisa mengejar waktu replik bisa disampaikan di hari yang sama.
Lantas hakim membuat putusan. Bisa 7 hari kemudian.
Berarti sama-sama perlu waktu sekitar 15 hari. Atau hakim tipikor kerja keras: membacakan putusan dua hari setelah duplik dan replik. Berarti bisa 5 hari lebih cepat dari putusan PKPU.
Tapi bisa juga ada drama korea: Eksi tiba-tiba sakit. Bisa sebelum duplik. Bisa juga sebelum vonis dibacakan. Kalau sakitnya 7 hari berarti seru sekali.
Kalau sampai putusan tipikor bisa jadi alat untuk melawan PKPU maka sejarah baru akan terjadi di peradilan Indonesia.
Tebak skor bisa berubah jadi tebak Eksi: dia akan terpaksa sakit atau tidak.(*)