Dipamerkanlah fosil-fosil manusia purba. Dari berbagai belahan dunia. Di satu dinding terlihat fosil manusia Jawa. Dua buah. Dari Sangrian, Sragen (tidak ditulis Sangiran) dan dari Trinil, Ngawi.
Pukul 13.30 barulah kami keluar museum.
Lapar.
Belum sarapan.
"Mau makan apa? Udang? Ikan? Daging?" tanya Hody.
"Mi saja".
"Hanya mi?"
Saya mengangguk. Jangan sampai ia keluar lebih banyak uang lagi.
"Lanzhou la mian?" tanyanya seperti bisa membaca isi kepala saya.
Awalnya Hody bekerja di satu SMA swasta di Jakarta. SMA internasional. Menangani komputer. Lalu jadi asisten guru komputer. Ketika pemilik sekolah membuka sekolah serupa di Shanghai, Hody dipindah ke sekolah baru itu.
Lima tahun kemudian ia pindah kerja. Ke sekolah SMA khusus teater. Tetap di Shanghai. Ia punya kemampuan di program tata cahaya lampu. Ia pun jadi guru teater khusus tata lampu.
Saya memesan mi. Hody memesan mirip iskander di Turki.
Hody tentu sering ke Disneyland. Ia perlu mengamati tata lampu di pertunjukan-pertunjukan di sana.
"Mengatur tata cahaya di teater SMA lebih sulit. Gerak mereka kan belum matang," kata Hody. Tidak mudah membuat bagaimana sorot cahaya bisa mengikuti gerak pemain drama. Atau gerak penari.
Hody mengajarkan bagaimana cahaya lampu bisa mengikuti gerak penari secara tepat. "Sekarang memang sudah ada AI. Tapi keterampilan dasar harus punya," katanya.
Kini tubuh penari bisa dipasangi chip. Terhubung langsung ke lampu yang digerakkan dengan AI. Tidak mudah jadi guru tata cahaya di zaman kecerdasan buatan.