Penolakan sebagian besar masyarakat Australia terhadap referendum tersebut bisa jadi akibat dari kampanye kelompok oposisi yang kerap menyampaikan informasi yang salah karena bisa berujung pada perampasan lahan, atau menciptakan sistem Apartheid, seperti yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
Seperti yang ditulis oleh Ratih Hardjono dalam buku "Suku Putihnya Asia: Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya", memberikan seluruh benua Australia kepada orang-orang Aborigin yang hanya sebesar tiga persen dari total penduduk Australia, tentu tidak mungkin karena bumi yang dituntut orang Aborigin adalah tanah yang dimiliki Pemerintah Australia (Crown land).
Secara hukum, orang Inggris mendapat persetujuan dari Kerajaan untuk membangun rumah di tanah yang baru tersebut, bahkan untuk membangun kota. Meskipun demikian, keturunan Aborigin juga memiliki hukum adat sendiri dalam mengatur pemanfaatan bumi mereka, jauh sebelum kedatangan James Cook.
Masalah hak akan tanah antara kaum pribumi dengan pendatang dari Inggris berkembang menjadi semakin rumit, karena perbedaan pengertian hukum Australia modern dengan hukum tradisional Aborigin.
Pada 1967, Pemerintah Australia mengakui bahwa kaum Aborigin juga mempunyai hak atas bumi Australia dan mempunyai hukum mereka sendiri, tapi fakta yang terjadi di lapangan, keturunan Aborigin sampai saat ini tidak mempunyai pilihan lain, kecuali hidup dan mempergunakan hukum "putih".
Perbedaan pengertian pemilikan tanah juga mendatangkan persoalan rumit ketika berhubungan dengan pengelolaan kekayaan sumber daya alam oleh pemerintah. Bagi kaum Aborigin, hak milik tanah seseorang didapatkan sejak kelahirannya, sehingga tidak ada istilah menabung untuk mendapatkan sebidang tanah.
Sementara bagi kaum putih, seperti manusia modern lainnya, hak milik tanah berarti kekayaan dan modal yang sewaktu-waktu dapat dijual, sehingga mereka berusaha untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan membeli tanah untuk permukiman sebagai jaminan untuk kehidupan yang lebih aman.
Perbedaan konsep dan pengertian itulah yang sampai sekarang menimbulkan konflik antara pendatang dengan kaum Aborigin, terutama para peternak skala besar, perusahaan pertambangan, serta perusahaan multinasional yang ingin berinvestasi di Australia.
Persoalan semakin rumit ketika kaum Aborigin menuntut kembali tanah yang mereka anggap keramat, tapi tempat keramat tersebut justru dirahasiakan. Membeberkan tempat tersebut kepada umum, berarti memusnahkan kekeramatannya. Kondisi tersebut membuat masyarakat Australia pada umumnya merasa curiga bahwa alasan kekeramatan sebuah wilayah dijadikan alasan kaum adat untuk menuntut tanah seluas-luasnya.
Isu mengenai hak-hak suku asli Aborigin menjadi masalah yang tidak pernah kunjung usai, meski pemerintah berusaha untuk menebus dosa kaum kolonial dengan menjaga aspirasi kelompok minoritas itu melalui badan khusus, sebagai perwakilan di parlemen.
Melihat perkembangan masyarakat umum di Australia yang didominasi oleh hukum kaum kulit putih, perjuangan kaum Aborigin untuk menuntut hak-hak adat tampaknya masih akan menemui jalan buntu dan sulit untuk menemukan titik temu. (ant)