JAKARTA- Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah mengatakan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan aparat kepolisian harus berani turun tangan untuk menanggapi laporan ketidaknetralan aparat pemerintah, termasuk yang dilakukan para penyelenggara negara.
“Bawaslu perlu lakukan penegasan atas pelanggaran yang dilakukan, meskipun mereka tidak bisa menindak karena bukan lembaga penegak hukum, tetapi setidaknya menyampaikan statement pengawasan agar diketahui publik jika keluarga Presiden sudah sewenang dalam mengemban amanah sebagai pejabat publik yang semestinya tidak mengekspresikan sokongan politik praktis secara vulgar,” ungkap Dedi.
Salah satu kasus yang melibatkan keluarga Presiden Jokowi dan dianggap terlalu vulgar adalah dukungan Wali kota Medan, Bobby Nasution. Aksi menantu Jokowi dalam mendukung pasangan iparnya, Prabowo-Gibran Rakabuming harus disorot.
Diketahui, pada laman sosial media ya, Bobby kerap kali hadir dalam acara mendukung Paslon 02 dan baru-baru ini berjoget gemoy bersama istrinya.
“Fenomena ini merupakan simbol buruknya penegakan hukum kepemiluan, dan tentu lebih banyak lagi kemungkinan terjadi. Sebagai pejabat negara, Bobby harus netral, namun nyatanya memihak," jelasnya.
“Regulasi untuk netralitas ASN sudah ada, tetapi minim penegakan, dan masalah terbesar ada pada pimpinan mereka, seperti yang terjadi di Kota Medan, dipastikan ASN Kota Medan akan jadi mesin politik kandidat tertentu,” ungkap Dedi.
Di tengah maraknya pelanggaran netralitas ASN, Dedi menggugah kepolisian untuk menjalankan tugasnya. “Kehendak netralitas itu seharusnya ada pada kepolisian, jika mereka mau sedikit berupaya, maka kepala daerah sekalipun tidak berani macam-macam,” sebut dia.
Kritik juga disampaikan ke Presiden Jokowi selalu pemimpin negara dan juga ayah dari anak dan menantunya. Tidak bisa dipungkiri, hal ini juga menjadi sorotan media-media asing.
“Utamanya Bobby dan Gibran sebagai pejabat publik, Bobby dengan Aksi promosi pasangan Prabowo, dan Gibran dengan durasi cuti berlebihan, ini etika yang cukup berantakan dari sisi pejabat publik. Jokowi sebagai Presiden semestinya sangat malu dengan kegagalannya membawa iklim politik nasional tidak kondusif,” tandas Dedi.
Sementara itu, Pakar ilmu politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ridho Al Hamdi menilai pelanggaran pemilu khususnya ketidaknetralan ASN dan politisasi bantuan sosial (sosial) harus ditindak.
Ridho juga menyoroti kinerja penyelenggara pemilu yang seolah lumpuh. Para tim sukses paslon pun bersuara keras atas hal tersebut.
"Penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu yang saat ini seakan tidak bisa berbuat apa-apa atau mandul, ya memang harus kita kritisi. Karena kalau enggak, mereka semakin tidak becus kerjanya," ungkapnya.
Oleh sebab itu, Ridho menyerukan agar publik juga turut mengambil sikap. "Mari rakyat, masyarakat luas, kita Kawal benar-benar, menjadi pemilih kritis, menjadi pemilih yang berani melawan kecurangan. Karena jelas di berbagai daerah paslon 02 ini memanfaatkan struktur birokrasi," pungkasnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Hukum TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis menduga ada konspirasi yang dirancang untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Salah satunya, maraknya aksi pelanggaran netralitas ASN di berbagai daerah.