Membangun Masa Depan di Pelosok Dengan Tangan Sendiri

Jumat 01 Mar 2024 - 19:03 WIB
Editor : Jurnal

Cerita Maria Evin dari Dusun Heso di Dataran Tinggi di Nusa Tenggara Timur

Cerita tentang perjuangan Maria Evin sampai ke telinga Menteri Sosial Tri Rismaharini. Segera, setelah mendapati kabar itu, melalui Sentra Efata di Kupang, bantuan sosial pun dikirimkan untuk ibu empat anak itu.

 

DI sebuah sudut di Indonesia, gunung-gunung dan perbukitan tinggi menjulang, diliputi kabut dan awan hampir setiap saat. Seperti kata pepatah, "tidak ada makan siang yang gratis", semua yang indah pasti harus dibayar, entah bagaimana caranya. Di sini, dingin yang menggigit dan langkah-langkah kaki di tanah terjal menjadi bayaran yang tidak seberapa untuk melihat alam yang masih asri dan udara yang belum diracuni polusi.

Deru dan debu dari mobil off-road yang menapaki jalanan licin habis ditelan dan diredam guyuran hujan. Bermodalkan waktu, kemauan, dan obat untuk menangkal mabuk darat, orang dapat menjumpai Dusun Heso di dataran tinggi di Nusa Tenggara Timur. Sebuah tenda telah didirikan persis di samping satu gubuk, guna menyambut salah seorang penting di RI di tengah sederetan orang menyambut rombongan yang ditugaskan negara ke tempat itu.

Di antara deretan orang itu, adalah Maria Evin beserta anak-anaknya. Perempuan 40-an tahun itu tak kuasa menahan tangis saat utusan dari Kementerian Sosial datang membawa kabar baik buat dia dan keluarganya. Bagai sinyal dari Tuhan, hujan tersebut langsung reda ketika ihwal baik itu dibisikkan ke dia.

"Ibu jangan sedih ya, Bu Mensos mau ke sini," ujar seorang anggota Kementerian Sosial itu sambil memeluk Maria Evin.

Setelah haru yang membuncah itu, Maria Evin beserta anak-anaknya berjalan, menunjukkan rumahnya tersebut.

Bagi orang mampu, ruangan berukuran dua kali tiga meter bisa menjadi kamar buat satu orang. Namun, kenyataannya tidak demikian untuk Maria Evin. Di situ, dia tinggal bersama tiga anaknya, yaitu Riski, Ridwan, dan Hilda. Anak perempuannya yang paling besar telah menikah dan tinggal bersama suaminya di kampung sebelah.

Rumah tersebut dibangun seadanya, dan tidak memberikan perlindungan yang baik. Bagaimana tidak, dindingnya terbuat dari kayu yang sudah dimakan usia dan ada banyak sekali celah serta lubang di genteng. Sebagian dari celah-celah di dinding itu ditutup dengan kain atau guntingan karung lusuh seadanya.

Bangunan seperti itu tidak memberikan perlindungan yang baik. Setiap hujan turun, dingin menusuk tulang, dan dia sekeluarga terpaksa mengungsi ke rumah tetangganya.

Di dalam gubuk itu hanya ada dipan reyot dengan alas biru di mana Maria Evin dan anak-anaknya tidur, dan di dekat pintu, adalah dapur. Dapur itu terdiri atas rak atas yang berisi sekumpulan kayu yang digunakan untuk memanaskan air di periuk yang digantung di bawahnya.

Saat malam, hitam menyelimuti tempat itu, karena tidak adanya listrik di tempat itu. Yang menerangi tempatnya hanyalah pelita dari minyak tanah. Ketika rumah-rumah lain di dusun itu sudah dialiri listrik, miliknya masih berkutat dengan keremangan karena dia tidak memiliki biaya untuk memperbaiki rumahnya yang sudah ditempatinya selama bertahun-tahun itu.

Tiap hari Maria Evin bekerja sebagai petani, dengan upah Rp25.000 per hari. Itu pun tidak menentu. Selain itu, dia juga mengumpulkan batu untuk dijual. Dalam sebulan, seukuran satu dump truck berisi batu-batu itu dihargai Rp350 ribu.

Karena keterbatasan ekonomi itu juga, akhirnya salah satu putranya terpaksa berhenti sekolah demi membantu mamanya di sawah.

Kategori :