Wartawan yang kini jadi pengusaha IT itu langsung naik kereta.
Saya termangu.
Agak lama.
''Makan,'' kata saya.
Kang Saridin, yang tahun lalu juga menjemput saya, tahu di mana makan nasi mandi dengan daging kambing yang enak. Masih pakai mobilnya yang tahun lalu.
''Saya juga baru pulang dari Madura,'' katanya.
Saridin sudah 14 tahun di Jeddah. Jadwal pulangnya ke Madura ditepatkan dengan coblosan.
Maka kami pun ngobrol soal kebiasaan lama pemilu di Madura. Yang pencopet pun bisa dirampok. Juga soal mengapa tokoh hebat Madura seperti Pak Mahfud Md bisa kalah telak pun di Madura.
Bandara baru.
Stasiun kereta cepat baru.
Stasiunnya, dengan bandaranya, sama-sama istimewa. Kini tidak hanya Tiongkok yang hebat di bidang ini.
Saya dapat gerbong 13. Paling belakang. Posisi tempat duduk kami di tengah. Berhadap-hadapan dengan penumpang lain. Ada meja di antaranya.
Hanya jendelanya berbeda. Khususnya yang duduk di dekat jendela. Dua wanita. Dari Indonesia. Rupanya ibu dan anaknyi.
Saya amati interior gerbong ini: bintang empat –Whoosh adalah bintang lima. Ketika masih baru. Saya amati layar komputer di depan itu: kecepatan maksimumnya 300 km/jam –Whoosh 350 km/jam.
Sepanjang perjalanan dari bandara Jeddah ke Madinah hanya berhenti satu kali: di kawasan ekonomi khusus Jeddah.
Di stasiun inilah rel kereta cepat yang dari Makkah ke Madinah bertemu. Juga yang dari stasiun Sulaimaniyah di pusat kota Jeddah.