Cepat Berdamai, Kubur Dalam-dalam Konflik yang Pernah Terjadi

Rabu 06 Mar 2024 - 20:12 WIB
Editor : Jurnal

25 tahun Maluku Merawat Toleransi Antarsuku Ras dan Agama

ALE rasa beta rasa. Begitulah ungkapan yang bermakna saling menghormati dan menghargai antarsesama. Hubungan persaudaraan yang kental orang Maluku hingga kini masih tertanam dalam jiwa setiap insan Nusa Ina itu.

 

Bagi orang Maluku ungkapan Ale rasa beta rasa  tak hanya sebuah ungkapan pertemanan atau persaudaraan. Lebih dari itu, mengandung makna perdamaian yang mendalam atas peristiwa kelam yang pernah terjadi di Maluku.

Tanggal 19 Januari 1999 menjadi hari yang tak bisa dilupakan bagi orang Maluku. Perpecahan yang dipicu konflik saat itu seolah menciptakan sekat antarorang Maluku.

Namun Maluku yang terkenal akan kuatnya rasa persaudaraan -- setelah peristiwa kelabu itu -- masyarakatnya tak lantas makin berkonflik. Atas panggilan ikatan persaudaraan yang kuat, konflik tersebut justru membuat masyarakat Maluku mempererat persatuan dan kesatuan di antara mereka.

Tak memandang latar belakang suku ras dan agama, warga Maluku kembali cepat berdamai dan mengubur dalam-dalam konflik yang pernah terjadi di antara mereka.

Terwujudnya perdamaian setelah konflik yang melanda Maluku bersumber dari revitalisasi nilai budaya yang dikandung masyarakat Nusa Ina itu jauh sebelum konflik terjadi. Ungkapan Ale rasa beta rasa, sagu salempeng patah dua, dan potong di kuku rasa di daging seolah menjadi ungkapan yang menyudahi konflik di antara masyarakat Maluku.

Tak hanya itu, nilai pela gandong yang terkandung dalam setiap suku di Maluku juga menjadi inspirasi perdamaian. Banyak kelompok masyarakat Maluku menjalin hubungan persaudaraan antardesa, tanpa melihat latar belakang agama. Nilai persaudaraan inilah yang menjadi pijakan untuk mempertemukan kelompok yang pernah tercerai-berai.

 Rekonsiliasi Warga Pascakonflik

Menurut Guru besar Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon, Maluku, Prof. Jhon Ruhulessin, sejarah konflik sosial di Maluku merupakan suatu pelajaran dan pengalaman berharga bagi segenap orang Maluku khususnya, dan Indonesia pada umumnya

"Tanpa pembelajaran itu kita akan salah arah dalam menjalani kehidupan sebagai masyarakat yang majemuk dalam berbangsa dan bernegara dengan asas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945," katanya.

Sebagai refleksi konflik Maluku 25 tahun lalu, Ruhulessin mengajak seluruh elemen masyarakat terus memperkuat hubungan persaudaraan.

"Mari kita menegaskan komitmen kebangsaan kita, komitmen kemalukuan kita untuk betul-betul menata masa depan. Sebab, konflik itu tidak menyelesaikan permasalahan tapi malah menimbulkan persoalan dan kekerasan baru," jelasnya.

Mantan Ketua Sinode GPM ini, juga mengatakan bahwa pembangunan di Maluku juga sepatutnya dilakukan dari sisi sosial budaya untuk menjaga toleransi antarumat di daerah itu.

Kategori :