Senada dengan Ruhulessin, Ketua Pusat Rekonsiliasi dan Mediasi Maluku Dr. Abidin Wakano berpendapat bahwa masyarakat Maluku juga harus cerdas dalam melihat situasi dan kondisi yang terjadi. Masyarakat diminta tidak mudah terprovokasi dengan rumor yang disebarkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Konflik kemanusiaan yang melanda Maluku tersebut boleh dikatakan sebagai salah satu konflik sipil terbesar di abad 20. Konflik itu sudah banyak memakan korban jiwa dan harta benda.
Dosen IAIN Ambon ini menepis prediksi banyak orang bahwa pemulihan keamanan pascakonflik membutuhkan waktu 20 sampai 50 tahun. Nyatanya, Maluku bisa kembali normal jauh lebih cepat dibandingkan prediksi banyak kalangan.
"Hanya dalam waktu beberapa tahun saja kita punya kisah sukses yang luar biasa, dan ini menjadi sebuah catatan dan cerita yang baik untuk semua orang," jelasnya.
Oleh sebab itu, Maluku juga harus menjadi laboratorium untuk orang belajar tentang bagaimana mewujudkan perdamaian dalam waktu cepat. Kendati begitu, memang ada satu atau dua hal yang perlu masih dibenahi bersama.
Secara umum Maluku kembali pulih dari konflik sosial dengan waktu yang sangat cepat sehingga pantas menjadi laboratorium perdamaian di Indonesia bahkan di dunia.
Membahas toleransi di Maluku juga tak lepas dari kaum perempuan dan anak yang menjadi kaum rentan akibat konflik yang terjadi itu. Di tengah ketegangan yang terjadi di antara masyarakat Maluku, muncullah Gerakan Perempuan Peduli, yang dipelopori Suster Brigita Renyaan untuk mengonsolidasikan para perempuan lintas agama dalam penyelesaian konflik tersebut. Modal sosial dan persaudaraan yang solid membuat setiap kelompok berjuang untuk mewujudkan perdamaian.
Kabid Humas Polda Maluku M. Rum Ohoirat mengatakan konflik sosial di Maluku membawa banyak dampak kerugian dan kehancuran bagi masyarakat di Maluku sendiri.
Ohoirat menyebut tidak ada satu data resmi yang dirilis terkait dengan korban pada saat itu. Banyak versi terkait dengan korban kerusuhan, namun yang mungkin bisa dijadikan satu patokan yaitu data yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI).
LSI merilis kerusuhan di Maluku memakan korban 8.000 hingga 9.000 jiwa meninggal, 700 ribu warga mengungsi, 29.000 bangunan rumah warga terbakar, 7.046 rumah dirusak, 102 bangunan ibadah (masjid dan gereja) dibakar, 719 bangunan toko dirusak dan dibakar, 38 gedung pemerintah, dan empat kantor bank hancur.
Oleh karena itu, kerusuhan di Maluku harus menjadi pembelajaran dan perhatian semua pihak karena tatanan kehidupan sosial dan ekonomi yang terbangun sejak zaman leluhur menjadi hancur berantakan.
"Antara basudara saling melukai dan membunu. Kita tidak lagi merasakan kehidupan yang damai dan rukun, kala itu," ujarnya
Oleh sebab itu Polda Maluku telah memiliki program unggulan yang merupakan inovasi Kapolda Maluku. Program itu yakni "Basudara Manise" yang bertujuan mewujudkan Maluku yang aman, damai, dan sejahtera.
"'Basudara Manise' artinya mewujudkan persaudaraan di Maluku sehingga tercipta rasa aman dan sejahtera. Kegiatan berupa sambang tokoh baik baik pemuda, tokoh agama, tokoh masyarakat dalam menghadapi suatu permasalahan sekaligus juga sebagai cooling system, terutama dalam suasana Pemilu 2024," ujarnya.
Kini, 25 tahun setelah peristiwa kelam itu, masyarakat Maluku kian merekatkan rajutan kemajemukannya untuk hari ini, esok, dan selamanya. (ant)