Riyadh kota besar sekali. Selama dua hari itu saya ke sudut-sudutnya. Jangan dikira hanya ke stadion AnNassr dan stadion Al Hilal. Saya bukan fans Ronaldo apalagi Neymar yang manja itu.
Saya ditenteng ke tempat rekreasi di padang pasirnya yang jauh itu: Red Sand. Satu jam dari Riyadh. Bagus. Tidak sampai tiga menit di situ. Saya minta ke yang lain lagi. Mungkin karena saya sudah jenuh dengan pemandangan padang pasir. Sudah sejak dari Madinah ke Riyadh.
"Tidak ambil foto dulu?"
"Tidak".
Melihat padang pasir itu rasanya sudah seperti Jokowi lihat Megawati.
Pindah ke yang lain saja. Ke Bujairi. Seperti yang direkomendasikan oleh Wakil Duta Besar Sugiri Suparwan.
Itu baru. Renovasinya masih belum sepenuhnya selesai. Istana kuno. Terbuat dari tanah. Pernah seperti kompleks Garuda Wisnu Kencana: jadi lokasi KTT G-20. Yakni KTT yang bersejarah: di tengah pandemi Covid-19. Setengah virtual.
Saya suka Bujairi. Lokasi ini mengesankan. Kita seperti dibawa ke masa nan lalu. Nan nan lalu: ke nun masa kerajaan Saud pertama. Sebelum Saudi dikuasai Turki Usmani. Sebelum era kerajaan Saud kedua. Kita bisa rasakan loncatan zaman: dari Saud pertama ke Saud ketiga saat ini. Dari zaman serba tanah ke serba digital.
Cadar wanitanya yang mungkin masih serupa.
Lokasi ini dibuat dua bagian. Dipisahkan oleh jembatan-wisata. Jauh di bawah jembatan itu ternyata jalan raya. Begitu dalamnya posisi jalan itu sampai suara lalu-lintasnya tidak mengganggu sama sekali.
Lomba balap Formula-E melewati jalan pembelah zaman itu.
Di kawasan sebelum jembatan adalah fasilitas pendukung: Kafe-kafenya menarik. Seperti suasana di Prancis selatan. Atau di Monaco. Atau di Napoli.
Setelah jembatan, sepenuhnya peninggalan kuno: istana tanah. Besar sekali. Serba warna tanah. Untung di halamannya ditanami banyak pohon kurma. Sedikit rasa rindang. Apalagi di bawah kurma itu dijadikan ladang sayur percontohan: tomat, terong, lobak, kubis, selada, dan banyak lagi. Begitu subur sayur itu. Tidak seperti yang saya belajar tanam di Mojokerto bulan-bulan lalu.
Meski kota besar Riyadh tidak seperti Dubai atau Doha. Di Riyadh, jumlah gedung pencakar langitnya masih sedikit. Kalah dengan Makassar. Memang urgensi membangun gedung tinggi tidak ada: tanah begitu luasnya.
Di Riyadh saya memang berbuat tumben: datang ke kedutaan Indonesia. Duta besar kita di Saudi adalah aktivis, intelektual, ajengan, dan penulis: Dr KH Abdul Aziz Ahmad. Pernah jadi sekjen GP Ansor. Waktu itu ketua umumnya wartawan,Slamet Effendi Yusuf. Pernah juga jadi ketua KPU (Pemilu 2009). Orang Cianjur. Anak ajengan, kiai. Lulusan Gontor, Ponorogo. S-1 nya di UIN SyarifHidayatullah,Ciputat. Master-nya di Melbourne, adik kelas Fachry Ali. Doktornya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Maka asyik diskusi buku dengan beliau. Saya diberi buku barunya: Negara Rasional. Yakni hasil kajiannya mengenai pemikir dunia IbnuKhaldun. Itu buku ketiga yang ia tulis.