Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) pertama kali dilakukan pada tahun 1906 dengan nama Waterkracht werk Pakar aan de Tjika Poendoeng nabij Dago (PLTA Dago Pakar) dengan sumber airnya berasal dari Sungai Cikapundung.
Hanya bertahan 14 tahun, Bandungsche Electriciteit Maatschappij (BEM) mengalami pergantian nama pada 1920 menjadi Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken (GEBEO).
“Perusahaan BEM saat itu dinilai gagal karena dalam menyediakan pasokan listrik yang secara tidak maksimal. Oleh karena itu, kelahiran GEBEO di tahun 1920 dinilai sebagai solusi atas permasalahan yang ditinggalkan oleh BEM,” kata Analis Cagar Budaya dan Koleksi Museum Bidang Pengkajian Budaya Disbudpar Kota Bandung, Garbi Cipta Perdana saat ditemui di Bandung pada 20 Maret 2024.
Penggunaan nama Gemeenschappelijk pada perusahaan ini menunjukkan bahwa saat itu perusahaan tidak lagi mempunyai peranan milik swasta seutuhnya, melainkan sebagian sahamnya telah dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Di bawah kepemimpinan GEBEO sejak 1920, perusahaan ini terjadi perluasan jaringan listrik dan peningkatan kualitas layanan.
Bahkan GEBEO terus melakukan berbagai inovasi dan ekspansi, tidak hanya melayani kebutuhan listrik wilayah Bandung Raya saja, namun pelayanannya telah berkembang hingga mencakup sebagian besar Wilayah Jawa Barat yang ditopang oleh PLTA Dago Bengkok yang rampung dibangun pada 1922, dan instalasi pembangkit tersebut merupakan saluran tegangan tinggi pertama di Hindia.
Adapun sebelum menempati gedung yang berada di Jalan Asia-Afrika saat ini, GEBEO dulu berkantor di Bragaweg (sekarang Jabarano Coffee Braga) dari tahun 1920 hingga selesai dituntaskan oleh CPW Schoemaker pada 1939.
Asisten Manajer Komunikasi PLN Jabar Eriga Wahyuwiranti menyampaikan terdapat sebuah lorong di gedung tersebut berisi berbagai relief-relief kayu yang masih dipertahankan. Hal ini mampu membuktikan bahwa zaman dahulu manusia sudah menggunakan listrik untuk keperluan sehari-hari.
Saat memasuki lorong ini, mata pengunjung akan tertuju pada relief-relief kayu yang menghiasi dindingnya. Relief-relief ini bukan sekadar hiasan, melainkan jendela ke masa lalu yang memukau. Setiap ukiran kayu menceritakan kisah-kisah dari zaman Belanda, termasuk salah satu cerita yang paling menarik yaitu kisah tentang penggunaan listrik untuk kereta trem di Kota Bandung kala itu.
Relief kayu tersebut juga menggambarkan adegan sehari-hari dari zaman kolonial Belanda di Bandung, mulai dari aktivitas manusia membersihkan debu menggunakan vacuum cleaner hingga tampak seorang pria mandi menggunakan water heater listrik.
Meskipun pada waktu itu penggunaan listrik masih terbatas, gambar-gambar tersebut menunjukkan bahwa manusia pada masa itu sudah mulai mengenal dan menggunakan tenaga listrik untuk keperluan sehari-hari.
Pada relief kayu ini, pengunjung dapat melihat gambaran penerangan lampu-lampu listrik di jalanan, rumah-rumah, dan bangunan-bangunan penting lainnya yang mencakup sebagian wilayah di Bumi Priangan.
Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun pada zaman itu teknologi listrik masih dalam tahap perkembangan awal, keberadaannya telah memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa itu.
Tidak hanya sebagai saksi bisu dari masa lalu, lorong ini juga menjadi tempat refleksi bagi manusia tentang bagaimana perkembangan teknologi telah mengubah kehidupan manusia dari masa ke masa.
“Karena di jaman itu, orang-orang Belanda itu sudah mulai pakai peralatan listrik. Seperti penyedot debu, pemanas air, setrika, kulkas mereka sudah pakai. Terus juga kompor dan lain-lain mereka sudah pakai listrik hingga penerangan lampu rumah sudah mulai digunakan,” kata Eriga saat ditemui ANTARA di Gedung Distribusi PLN Jabar, Kota Bandung, pada 21 Maret 2024.
Dibangun di Atas Sumur Bandung