Melihat Tradisi Masyarakat Papua Jaga Sumber Daya Laut
Waifuna didirikan 2008 silam. Kelompok Waifuna terdiri atas para mama (ibu) di Kampung Kapatcol. Mereka mengelola sasi laut. Praktik pengelolaan sasi laut memberikan banyak manfaat untuk warga serta melindungi biota laut dari kepunahan akibat pemanfaatan yang berlebih atau pengambilan yang bersifat merusak.
MEMBELAKANGI hamparan laut, Almina Kacili, seorang perempuan berusia kepala enam tampak duduk dengan tenang di sebuah kursi merah di Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Hujan sore yang membawa teduh di Kampung Kapatcol itu seolah sengaja diutus Tuhan untuk menemani Mama Almina mengenang momen berharga baginya pada tahun 2008 silam. Momen itu berkenaan dengan pendirian Kelompok Waifuna yang terdiri atas para mama (ibu) di Kampung Kapatcol.
Dalam bahasa setempat, Waifuna berarti berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Sejak didirikan pada tahun 2008 hingga kini, Kelompok Waifuna terdiri atas 36 anggota yang berstatus sebagai ibu atau akrab dengan sebutan mama dengan rentang usai mulai dari 22 tahun hingga 30 tahun ke atas. Pada awal didirikan, Kelompok Waifuna dipimpin oleh kakak ipar Almina yang bernama Betjina Hay. Kepemimpinan itu dilanjutkan oleh Almina setelah Betjina tutup usia pada tahun 2013.
Salah satu peran utama kelompok tersebut adalah mengelola sasi laut, di saat pengelolaan sasi lebih identik dengan kaum adam. Dalam pengelolaan sasi, Kelompok Waifuna didampingi langsung oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Menurut Koordinator Program Bentang Laut Kepala Burung YKAN Awaludinnoer, salah satu hasil dari pendampingan itu adalah kemunculan kesadaran dalam diri para mama di Waifuna agar mereka selektif dalam mengambil hasil laut. Mereka akan mengembalikan hasil tangkapan ke laut jika tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan.
Secara umum, sasi dapat dipahami sebagai praktik adat untuk mengelola sumber daya alam berkelanjutan, baik di darat maupun di laut yang hingga saat ini masih diterapkan di wilayah Maluku dan Papua. Sasi laut menghadirkan aturan spesifik dan tidak tertulis mengenai wilayah penangkapan biota laut, alat penangkapan biota laut, spesies target, waktu, dan lokasi penangkapan biota laut.
Membagikan kisah lebih lanjut mengenai awal pendirian Waifuna, Almina mengatakan salah satu hal yang melatarbelakangi keberadaan kelompok tersebut adalah keyakinan para mama di Kampung Kapatcol bahwa mereka dapat mengambil peran yang sama dengan para lelaki, yaitu menjaga laut dan memastikan hasil sasi dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga.
Pengelolaan sasi laut oleh kaum perempuan itu didukung penuh oleh para lelaki Kapatcol. Kepala Kampung Kapatcol, Luis Hay bahkan mengakui para ibu Kapatcol lebih telaten dalam mengelola sasi laut, terutama dalam memastikan hasil panen bermanfaat bagi warga dan dapat dilakukan secara terus menerus.
Sementara itu, Manajer Senior Bentang Laut Kepala Burung YKAN Lukas Rumetna menyampaikan sejumlah keunggulan pengelolaan sasi laut oleh perempuan. Di antaranya, perempuan memiliki pola pikir yang bersifat jangka panjang sehingga mereka lebih detail dan teliti dalam memastikan seluruh tahapan sasi laut berjalan dengan baik dan terus dilakukan ke depannya.
Perjalanan para perempuan Kapatcol dalam mengelola sasi laut tidak berhasil begitu saja. Almina mengatakan panen pertama mereka mengalami kegagalan. Tidak ada satu pun target biota laut, seperti teripang yang mereka dapatkan dari pelaksanaan sasi untuk kali pertama di tahun 2011 itu. Meskipun begitu, kegagalan tidak menyurutkan keteguhan dan semangat para mama untuk memastikan sasi laut bermanfaat bagi seluruh warga.
Mereka lantas kembali mencoba melakukan sasi dengan strategi baru, yakni memindahkan lokasi. Langkah tersebut lalu membuahkan hasil, mereka berhasil membuktikan perempuan mampu mengelola sasi laut.
Kelompok Waifuna dan sasi lautnya terus mengalami perkembangan, bahkan pemerintah desa memperluas wilayah sasi mereka dari 32 hektare menjadi 213 hektare pada tahun 2019.