Tak Punya Pengeras Suara, Dibangun Pada Masa Dinasti Qing
ETNIS MINORITAS HUI: Etnis minoritas Hui berlibur di Gunung Taizi, prefektur otonomi Linxia Hui, provinsi Gansu, China. --
Suku Huihui, saat ini adalah kelompok etnis yang asal-usulnya berasal dari dua kategori tersebut dan dalam perkembangannya mencakup pencampuran dari etnis lain, termasuk Han, Mongolia, dan Uyghur.
Sebagai orang-orang yang datang ke China dari tempat yang sistem sosial, adat istiadat dan kebiasaannya berbeda, Suku Huihui menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan sosial, aktivitas ekonomi, kesamaan nasib politik, hingga kesamaan agama Islam.
Karena selama bertahun-tahun tinggal bersama Suku Han dan semakin banyaknya Suku Han yang bergabung dengan kelompok Hui, secara bertahap, orang Hui pun hanya berbicara dalam Bahasa Han, mengenakan pakaian seperti Suku Han, hingga menggunakan nama dan nama keluarga Han.
Meskipun demikian, agama Islam tetap punya pengaruh yang besar terhadap gaya hidup orang Hui, misalnya, seorang bayi yang baru lahir diberi nama Hui oleh seorang ahung (imam), upacara pernikahan harus disaksikan oleh ahung; orang yang meninggal harus dibersihkan dengan air, dibungkus dengan kain putih dan harus segera dikuburkan tanpa peti mati di hadapan seorang ahung yang menjabat sebagai ketua.
Mazhab di kalangan Muslim Hui terbagi menjadi empat, yaitu yang paling populer adalah Gedimu (mencakup sekitar 70 persen) dengan mempraktikkan pembacaan Alquran menggunakan bahasa Arab, sehingga kerap pembacanya tidak memahami makna teks.
Mazhab kedua, yaitu Ikhwani yang menekankan makna Alquran, karenanya, materi keagamaan dalam Bahasa Mandarin tersedia di masjid-masjid aliran Ikhwani.
Mazhab ketiga, yang juga dianut oleh umat Muslim Uyghur, yaitu Qadriya dan Naqashabandiyah. Sebagai salah satu tempat lahirnya tasawuf China, Linxia menjadi pusat bagi subkelompok Naqashbandiyah tersebut dan terakhir, sebagian kecil Muslim Hui adalah Salafi atau Wahhabi China yang menganut Islam versi Arab Saudi.
Laki-laki Hui terbiasa memakai topi keci, tanpa pinggiran berwarna putih atau hitam, khususnya saat shalat, sedangkan perempuan pada umumnya, tapi tidak selalu, mengenakan jilbab hitam, putih atau hijau. Suku Hui tidak makan daging babi atau darah hewan dan mereka menolak meminum alkohol yang semuanya berasal ajaran agama Islam.
Salah satu orang Hui terpandang adalah Laksamana Zheng Ho atau lebih terkenal disebut sebagai Cheng Ho yang memimpin armada besar ke lebih dari 30 negara Asia dan Afrika --termasuk Indonesia-- dalam 29 tahun pada era Dinasti Ming. Ia berkeliling didampingi Ma Huan dan Ha San, juga asal Hui, sebagai penerjemahnya.
Setelah 1949, Pemerintah China menerapkan kebijakan otonomi etnis daerah di wilayah berpenduduk Hui karena Hui yang satu berbeda dari satu tempat ke tempat lain terbentuk Daerah Otonomi Ningxia Hui, prefektur Otonomi Linxia dan Changji Hui di Provinsi Gansu dan Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang, dan masih ada enam kabupaten otonomi Hui lainnya.
Percampuran Hui dan Han juga tampak dalam masakan Hui. Contohnya, resep Han, seperti telur dan tomat, kubis pedas, dan hidangan lain sama. Satu-satunya perbedaan adalah restoran yang dikelola orang Hui Muslim bersertifikat halal, yang memberikan jaminan masakan itu tanpa daging maupun lemak babi.
Hidangan khas Hui, mi daging sapi Lanzhou (ibu kota Provinsi Gansu), dapat disantap di kantin halal di seluruh China dan rasanya tidak jauh berbeda dari jenis mi kuah di daerah China lainnya.
Berkat banyaknya masjid di Linxia mendapat julukan "Mekah Kecil" di kalangan umat Islam di China. Ada sekitar 3.000 masjid dalam berbagai ukuran di kota tersebut.
Berbeda dengan suku Uyghur yang kerap memunculkan isu separatisme dan terorisme, Suku Hui dinilai tidak memiliki pretensi mengenai dua hal tersebut.
Salah satu alasan penting mengapa Muslim Hui berhasil hidup lebih harmonis dengan Suku Han di negara yang dikuasai Partai Komunis adalah cara mereka melakukan sinofikasi Islam. Suku Hui mewujudkan Islam dengan ciri khas China sejak Dinasti Tang abad ke-7.Sepanjang sejarah mereka, beberapa orang Hui juga secara aktif mencoba menggabungkan budaya Islam dan China. Pada abad ke-18, misalnya, cendikiawan Hui Liu Zhi menulis "Kitab Han", sebuah sintesis antara Islam dengan Konfusianisme yang mengidentifikasi Nabi Muhammad sebagai orang bijak dan menghubungkan hukum syariah dengan ritual Konfusianisme.