No Day

Oleh : Dahlan Iskan--

Di Jepara, Sumaryanto hanya tamat SMP. Ayahnya buruh tani. Setamat SMP, Sumaryanto bekerja di rumah milik pengrajin ukiran kayu. Ia pun menjadi mahir dalam ukir-mengukir. "Bakat alam," jawab Sumaryanto. Saya memang bertanya siapa yang jadi mentor ukirnya. 

Lalu remaja Sumaryanto menjual sepedanya. Ia beli tiket kapal kayu dari Semarang menuju Pontianak. Itu tahun 1980-an. Ia dapat kenalan orang Pontianak asal Solo. Orang Solo itulah yang menampungnya sementara di Pontianak. 

Begitu mulai dapat order ukiran, Sumaryanto cari kontrakan rumah sendiri. Namanya pun semakin terkenal sebagai orang yang ahli ukir. Mulailah banyak order dari rumah-rumah orang berpunya di Pontianak. 

Di depan rumah kontrakannya itu sering ada pelajar putri yang lewat. Ia jatuh cinta pada salah satu gadis itu. Anak tetangga. Namanya: Rosita –seorang gadis Melayu berkerudung. Sumaryanto pun berhasil mengukirkan cinta di hati Rosita. 

Anak pertama mereka perempuan. Yang kedua pun wanita. Sumaryanto sangat menginginkan anak laki-laki. Rosita diminta melahirkan terus. "Kalau perlu sampai tujuh anak," gurau Sumaryanto. Sampai lahir anak laki-laki. 

Anak ketiganya ternyata laki-laki. 

Saat itu Sumaryanto lagi senang-senangnya sepak bola. Tim pujaannya adalah Brasil. Maka ia pun menamakan anaknya dengan nama pemain bola Brasil: Veddriq Leonardo. 

Sang istri agak ragu dengan nama itu. Tidak lazim orang Melayu punya nama seperti itu. "Kok namanya seperti orang bule?" tanya sang istri. "Apakah tidak apa-apa?" tambahnya. 

"Hanya nama. Tidak apa-apa," jawab Sumaryanto. 

Dua tiga kali Rosita menanyakan kemantapan sang suami atas pilihan nama Veddriq Leonardo. Tapi Sumaryanto menjawab: sudah mantap. 

Ia ingin anak lakinya itu jadi pemain sepak bola yang terkenal. Apalagi anak keempatnya ternyata wanita lagi. 

Di pinggir sungai Kapuas itu tertancap tonggak kayu. Tinggi. Terlihat dari teras rumahnya. Tonggak itu diperlukan untuk mengikat kapal-kapal kayu. Sungai Kapuas adalah sungai terlebar di Indonesia. Kapal-kapal hilir mudik membawa barang dan orang. 

Bagi Veddriq-kecil, tonggak itu untuk dipanjat. Setelah sampai atas ia bisa terjun ke sungai. Ia harus cepat-cepat memanjat kayu itu lagi. Sebelum anak yang lain mengambil alih. Itulah permainan Veddriq-kecil bersama teman-temannya di Gang Harapan. 

Sang ayah bercerita: Veddriq-kecil suka memanjat apa saja. Saat mulai bisa berjalan, semua meja kursi di rumah itu dipanjat. Ia lebih suka berjalan di atas sandaran kursi daripada di lantai. 

Setelah agak besar Veddriq suka memanjat pohon. Yang paling ia suka adalah memanjat pohon jengkol di depan rumahnya. Pohonnya besar. Tinggi. Pohon itu kini tidak ada lagi. Ditebang. Yakni saat di sebelah ruang tamu harus dibangun kamar tidur. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan