Praktik Politik Uang Mulai Dipandang Wajar di Kalangan Masyarakat

Pilkada Serentak 2024--

PADANG, JAMBIEKSPRES.CO-Dewi Anggraini, akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Andalas (Unand) di Sumatera Barat, menyatakan kekhawatirannya terhadap meningkatnya pandangan bahwa politik uang telah menjadi hal yang dianggap wajar dalam proses demokrasi.
"Saat ini, saya melihat bahwa praktik politik uang semakin dianggap sebagai hal yang biasa," ungkap Dewi Anggraini di Padang, Selasa.
Dewi memberikan contoh konkret mengenai calon yang memberikan uang kepada masyarakat selama pemilu, dengan harapan agar konstituen memberikan suara mereka. Hal ini menciptakan pola pikir barter, di mana penerima uang merasa mereka harus mendukung calon tersebut.

BACA JUGA:Kota Jambi dan Sarolangun Masuk Kategori Paling Rawan pada Pilkada 2024

BACA JUGA:KPU: Ada Dua Alternatif Jika Calon Tunggal Kalah Pada Pilkada 2024
"Beberapa orang yang menerima uang cenderung berpikir secara pragmatis dan memanfaatkan kesempatan pemilihan hanya untuk keuntungan sementara, tanpa memikirkan dampaknya ke depan," kata Dewi.
Dia menambahkan bahwa praktik ini sering terjadi di kalangan masyarakat dengan pemahaman politik yang terbatas. Keterbatasan informasi politik membuat mereka lebih memilih pendekatan pragmatis.
Namun, Dewi yakin bahwa masyarakat yang memiliki pengetahuan politik yang lebih luas cenderung tidak terjebak dalam praktik politik uang.

Mereka lebih memilih memilih pemimpin yang dapat benar-benar berkontribusi untuk pembangunan daerah, daripada hanya mendapatkan uang dari calon.

BACA JUGA:Dua Alternatif Jika 43 Calon Tunggal Kalah pada Pilkada 2024

BACA JUGA:34 Calon Kepala Daerah Siap Bersaing di Pilkada Serentak 2024 di Provinsi Jambi, Ini Daftarnya
Dewi menegaskan pentingnya meningkatkan kesadaran publik tentang dampak negatif politik uang, yang dapat berujung pada masalah hukum dan merusak prinsip-prinsip demokrasi.
"Masyarakat perlu diinformasikan bahwa praktik politik uang tidak hanya melanggar hukum tetapi juga merusak nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, sosialisasi yang luas dari semua pihak terkait sangat diperlukan," tuturnya.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menambahkan bahwa berdasarkan data tren tindak pidana pemilihan nasional tahun 2020, terdapat puluhan kasus yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

BACA JUGA:Cegah Kotak Kosong, KPU Perpanjangan Pendaftaran Pilkada

BACA JUGA:Daftar Lengkap Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pilkada 2024 di Seluruh Provinsi Indonesia
Dia merinci bahwa ada 65 kasus kepala desa atau pejabat ASN yang melanggar Pasal 188, 22 kasus terkait Pasal 187 A Ayat 1 mengenai pemberian uang atau materi lainnya, 12 kasus melanggar Pasal 178 B tentang pemberian suara lebih dari sekali, dan 10 kasus melanggar Pasal 187 Ayat 3 terkait ketentuan kampanye. (*)

Tag
Share