Hidup Berdampingan, Guyub Rukun Tanpa Perselisihan

ERUPSI: Warga berlari menjauh dari erupsi dari kawah Gunung Lewotobi Laki-laki di Desa Pululera, Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/11/2024). FOTO: ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA --

Fenomena erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki  memukul masyarakat cukup dalam. Sebab, tak lama setelah erupsi, hujan abu vulkanik yang turun di wilayah tersebut, sehingga dinilai mematikan mata pencaharian utama mereka.

Banyak tanaman komoditas, maupun tanaman yang digunakan sebagai pakan ternak mati akibat hujan abu vulkanik yang tak kunjung usai.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat setidaknya lebih dari 900 erupsi yang dialami oleh gunung yang dijuluki oleh masyarakat sebagai gunung suami ini hanya dalam periode 2024.

Hal ini merupakan hal yang tidak biasa. Sebab, PVMBG sebelumnya juga sudah menetapkan bahwa jarak aman dari erupsi Lewotobi Laki-laki adalah sejauh 7 kilometer, di mana desa ini berada pada lokasi tepat di luar zona bahaya yang ditetapkan.

Bahkan, Pos Pengamatan Gunung Api Lewotobi Laki-laki berdiri di wilayah terdepan sebelum memasuki desa ini. Secara tidak langsung, hal ini menandakan bahwa desa ini "aman" dari dampak erupsi Lewotobi.

Namun, sampainya muntahan abu vulkanik kala gunung api itu mengalami erupsi besar pada 3 November 2024 lalu ke wilayah perkampungan membuat masyarakat kebingungan. Wilayah yang selama ini dirasa aman, ternyata tidak lagi memberikan rasa aman. Para warga juga takut akan ketiadaan sumber pemasukan utamanya.

Melihat fenomena ini, Paulus tak tinggal diam. Ia menginisiasi upaya mitigasi bencana secara mandiri agar masyarakat tak kebingungan dan larut dalam kesedihan.

"Tidak ada harta apapun yang seharga nyawa," kira-kira begitu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh Paulus untuk mengajak sekitar 2.000 warganya dalam mengungsi.

Sedikit demi sedikit, masyarakat mulai mengetahui upaya mitigasi bencana yang harus dilakukan kala mendengar gemuruh dari Gunung Lewotobi Laki-laki.

"Kalau ada bencana, kita lari sama-sama ke utara," jelas Paulus sembari menyeruput kopi hitamnya.

Dalam upaya mempelajari mitigasi bencana, wilayah pemukiman Desa Pululera yang berbentuk relatif vertikal memudahkan masyarakat untuk memahami rute evakuasi. Hingga akhirnya, seluruh warga desa terbiasa untuk melakukan aktivitas berlari ke utara.

Kebiasaan tersebut menjadi hal yang menyelamatkan mereka dari malapetaka. Erupsi besar yang terjadi tak sampai memakan korban jiwa warga desa.

Erupsi yang disertai muntahan batu pijar berukuran rata-rata sekepal tangan orang dewasa tersebut berhasil dihindari oleh warga dengan sigap.

Pengalaman dihujani batu yang menyala di malam hari membuat para warga menjadi lebih takut lagi dari sekadar kehilangan mata pencahariannya.

Oleh sebab itu, masyarakat mulai membangun posko pengungsian secara swadaya di wilayah bukit, di tengah hutan dan kebun mete sejauh 3-4 kilometer di utara Desa Pululera.

Tag
Share