Dari Gaza ke Stasiun Gambir, Ammar Berjuang Melanjutkan Hidup

DIRIKAN CAFE: Pemilik kafe asal Palestina Ammar Abu Ali menunjukkan dekorasi bendera Palestina di kafenya di Stasiun Gambir, Jakarta, Selasa (5/11/2024). --

Serangan Israel yang begitu masif kali ini memaksanya mengungsi dari tempat tinggalnya di Khan Younis ke selatan, hingga akhirnya menepi ke Rafah.
Ammar bercerita, hidup di tenda pengungsian begitu sulit: Mandi hanya bisa dilakukan delapan hari sekali dan hanya tersedia makanan kaleng selama berbulan-bulan akibat blokade Israel.

Awal tahun ini, tibalah masa saat ia memutuskan keluar dari Gaza. Untuk itu, Ammar mengaku harus membayar 5.000 dolar AS per orang kepada perantara dari Mesir.
Ia pun pada akhirnya merogoh kocek hingga 20 ribu dolar AS untuk dirinya, sang istri, dan kedua orang tuanya.

Bayaran semahal itu tak menjamin dirinya bisa langsung keluar dari Gaza, karena ia harus menunggu hingga satu bulan sebelum namanya ada di daftar manifes orang-orang yang boleh masuk Mesir dari Rafah.

“Saya membayar tanggal 27 Februari ... lalu pada 27 Maret malam, ada orang mengabari saya. Katanya, nama saya sekeluarga akan ada di daftar (manifes) besok pagi. Saya pun diminta pergi ke pintu perbatasan Rafah saat itu juga,” ucap Ammar.

Masih jernih di pikirannya, Ammar berhasil keluar dari Gaza bersama keluarganya pada 28 Maret 2024 melalui titik perbatasan Rafah ke Mesir, dan ia menunggu hampir sebulan di sana sebelum akhirnya terbang ke Indonesia dan menetap di Jakarta.

Membina hidup baru

Setelah tiba di Jakarta dari Mesir, Ammar memutuskan mendirikan sebuah kafe di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, dengan bantuan saudaranya. Saat ia bersiap membina kafe itu, ia pun berkenalan dengan orang-orang Indonesia yang ia temui.
“Masyarakat di sini baik-baik, bersahabat, dan saling menghargai. Cuaca di sini pun membuat nyaman,” kata dia.

Kesibukan Ammar di Indonesia kini berkutat pada mengawasi operasional Elite’s Cafe di Gambir, salah satu upayanya memulai hidup baru di Indonesia yang kini jadi tempat aman baginya.

Ia mengaku, karena lokasinya di stasiun antarkota yang menuntut penyajian sederhana dan sekejap, sebagian besar makanan yang disajikan adalah hidangan cepat saji, seperti nasi goreng, ayam goreng, dan mi instan racikan, serta racikan kopi kekinian.

Makanan khas Palestina yang sederhana pun tak luput dalam daftar menu Elite’s Cafe, yaitu shawarma (serupa kebab) ayam, fajitas dan ayam goreng katsu dengan racikan khas Gaza.

Ammar mengaku, ketiga makanan tersebut dibuat dengan resep keluarga langsung dari Gaza, dan sang istri turut andil dalam menyiapkannya setiap hari.

Untuk dekorasi kafe, ia memasang sejumlah bendera Palestina berukuran kecil di sudut-sudut kafe, sehingga menegaskan identitas tempat makan tersebut sebagai kafe “blasteran” Indonesia-Palestina.

Ia pun juga membanggakan sebuah lukisan bertema persahabatan Indonesia-Palestina yang terpampang di kafenya. Lukisan tersebut memperlihatkan Masjid Al-Aqsa dan corak kefiyyeh khas Palestina bersanding dengan Monumen Nasional yang ada tepat di samping Stasiun Gambir dan bijih kopi khas Indonesia.

Meskipun sederhana, Ammar berharap makanan dan dekorasi yang ada di Elite’s Cafe membantunya mengobati rindu akan kampung halaman di Gaza.

Tak lupa, Ammar menjadikan kebiasaan di kafenya menyediakan makan gratis bagi pemulung dan pramuwisma di stasiun serta menyumbangkan 5 persen pemasukan kafe untuk perjuangan Palestina.

Tag
Share