Menjadi Simbol Kesatria yang Sarat Makna Maskulinitas

PERTUNJUKAN PERESEAN: Dua pepadu saling pukul penggunaan tongkat rotan dalam pertunjukan peresean di kawasan objek wisata Desa Wisata Labuapi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (9/9/2024). FOTO: ANTARA/SUGIHARTO PURNAMA --

Para petarung yang disebut pepadu menggunakan tongkat rotan sebagai alat pemukul dan perisai sebagai pelindung. Mereka memakai penutup kepala dan sarung khas Sasak, namun bertelanjang dada.

Pada zaman dahulu, peresean menjadi simbol kesatria yang sarat makna maskulinitas, sehingga tidak jarang para orang tua menjadikan peresean sebagai ajang mencari jodoh untuk anak perempuan mereka. Bahkan, peresean juga menjadi bagian dari ritual sakral untuk mendatangkan hujan saat musim kemarau panjang.

Para raja dan prajurit juga menjadikan peresean sebagai media berlatih untuk melawan musuh-musuh kerajaan. Melalui peresean, pepadu diuji keberanian, ketangkasan, dan ketangguhan dalam bertarung.

Ketua Paguyuban Patih Alkas, Burhanuddin (46 tahun), mengatakan mitos yang beredar bila di antara 40 pepadu sudah mengeluarkan darah dari kepala, maka hujan segera turun.

"Sekarang peresean tidak lagi sebagai tradisi yang eksklusif, tetapi telah menjadi hiburan rakyat," ujarnya, saat berbincang dengan ANTARA.

Ketika bertransformasi menjadi hiburan, pertunjukan peresean menjadi ceruk ekonomi lokal karena sekali pementasan dapat menghasilkan uang sekitar Rp5 juta hingga Rp7 juta, hanya dari penjualan tiket. Pertunjukan peresean selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mencari orang-orang yang haus hiburan.

Burhanuddin adalah petarung peresean dan sudah dua dekade bergelut dengan hiruk pikuk seni pertunjukan adu ketangkasan tersebut. Dia mendirikan paguyuban peresean sekitar 12 tahun lalu dan kini telah memiliki 300-an petarung lintas daerah di Pulau Lombok hingga Bali.

Dari waktu ke waktu peresean mengalami perubahan, dari semula hanya untuk acara-acara khusus, seperti pernikahan, perayaan pascapanen, maupun ritual adat, kini menjadi pertunjukan yang bisa disaksikan setiap saat, melalui berbagai paguyuban maupun pedepokan.

Transformasi yang terjadi, dari awalnya tradisi eksklusif menjadi seni pertunjukan rakyat, tercipta akibat perubahan pengetahuan dan pandangan masyarakat. Sejak era 1980-an, peresean kian akrab dengan masyarakat sebagai wisata massal yang menghibur.

Di Kabupaten Lombok Utara yang menjadi daerah favorit tujuan wisata, pertunjukan peresean selalu ramai ditonton oleh turis mancanegara. Mereka penasaran dengan penampilan dua pria yang beradu ketangkasan memainkan tongkat rotan dan perisai di tengah arena bagai petarung gladiator, sambil diiringi lantunan musik tradisional yang memacu adrenalin.

Gerakan seperti menari membuat wisatawan asing tertarik mencoba peresean. Keberadaan turis asing di tengah arena menjadi pepadu mengundang gelak tawa. Atraksi budaya peresean merupakan pertunjukan yang unik dan memukau karena turis bisa mendapatkan pengalaman langsung menjadi pepadu.

Ketika paguyuban atau pedepokan menggelar pertunjukan peresean, ratusan hingga ribuan orang berkumpul dari berbagai penjuru wilayah, hanya untuk menyaksikan baku pukul para pepadu. Seni pertunjukan peresean bila dikemas secara profesional dan serius dapat menjadi magnet yang memikat minat wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Lombok.

Atraksi Wisata

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut rata-rata lama wisatawan menginap di hotel berbintang dan nonbintang di Nusa Tenggara Barat masih relatif singkat, sekitar dua hari. Faktor keindahan alam yang memukau berupa laut dan gunung rupanya belum cukup untuk membuat para turis betah menginap.

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara terus berupaya mengemas potensi alam dengan budaya, salah satunya pertunjukan peresean.

Tag
Share