Pintu Masuk Pemerintah Untuk Intervensi Pengentasan Kemiskinan
MAKAN BERGIZI GRATIS: Siswa menyantap makanan saat pelaksanaan uji coba makan bergizi gratis di SDN 07 Cideng, Jakarta, Senin (19/8/2024). FOTO: ANTARA FOTO/MUHAMMAD RAMDAN/TOM --
Menu Makan Bergizi Gratis yang disimpan Suleman Datau untuk orang tuanya, sebetulnya relatif sederhana. Dalam video tersebut, terlihat ada nasi, telor, sayuran dan lauk lainnya. Niat Suleman Datau untuk membawa makanan itu kepada orang tuanya, sungguh mulia.
Berbagai sudut pandang bisa kita gunakan untuk memaknai fenomena yang ditunjukkan oleh Suleman, salah satunya adalah makna dari makanan yang tersaji di hadapan kita.
Hadirnya makanan di hadapan kita memiliki makna tajalli atau perwujudan af'al (perbuatan) Tuhan, meskipun yang menghadirkan makanan itu adalah manusia.
Karena itu, sikap yang ditunjukkan oleh Suleman mengajak kita, khususnya para siswa penerima bantuan MBG, untuk menghargai setiap butir nasi yang lengkap dengan sayur dan lauknya.
Lewat Suleman, Tuhan sedang menunjukkan bahwa tidak sepatutnya anak meremehkan sajian makanan yang dihasilkan dari jerih payah banyak pihak, mulai dari petani, buruh tani, pemanggul gabah di sawah, hingga kaum ibu yang mengolah makanan itu menjadi siap santap.
Belajar Bersyukur
Kisah yang disuguhkan oleh Suleman mengajarkan kita, para orang dan anak-anak dari kalangan berada, agar memaknai keberadaan makanan itu dengan penuh nikmat dan rasa syukur mendalam.
Bagi anak-anak yang merasa tidak cocok dengan sajian makanan gratis itu perlu belajar, meskipun memerlukan proses, untuk tidak mengeluh karena rasanya yang tidak sesuai dengan selera mereka.
Pembelajaran rasa syukur ini tentu perlu melibatkan para orang tua dari kalangan berada untuk mengingatkan anak-anaknya agar menghargai makanan yang disediakan secara gratis di sekolah dengan cara melahapnya tanpa sisa.
Kalau bagi kalangan yang sangat mampu, makanan itu kurang bermakna karena rasanya "kurang enak" (ini sangat subjektif), namun bagi siswa dari keluarga tidak mampu, makanan itu justru merupakan sajian mewah yang jarang ditemukan di rumah.
Bagi keluarga dari kalangan berada, sesekali bisa mengajak anak-anaknya untuk melihat masyarakat yang hidup di lingkungan kumuh atau di sekitar tempat penampungan sampah.
Anak-anak dari keluarga kaya perlu diajarkan untuk berempati pada keadaan orang lain yang jauh di bawah kehidupan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup, khususnya makanan.
Dari sisi pemerintah sebagai penyelenggara program mulia ini, kasus yang ditunjukkan oleh Suleman bisa menjadi bahan evaluasi bagaimana program MBG ini juga bisa menyentuh masyarakat yang kurang mampu, misalnya melibatkan warga yang kondisi ekonominya sama dengan keluarga Suleman.
Warga dengan kondisi ekonomi ibu dari Suleman bisa dilibatkan, setidaknya sebagai pekerja ketika program itu dikerjakan untuk disajikan kepada siswa.
Pemerintah mewajibkan penerima proyek pengadaan makanan gratis itu untuk mempekerjakan warga dari kalangan tidak mampu, sehingga program itu betul-betul memiliki dampak berganda, di luar memenuhi kebutuhan siswa akan makanan bergizi.