Pulang Kampung
Nanda Ray--
“Tidak usah, Bu! Aku ingin di sini saja!” jawabku ketus.
“Loh kenapa tidak mau? Ibu sepi di sini. Ibu cemburu dengan ibunya Rini, rumahnya ramai. Anak dan cucunya berkumpul di rumah,” kata Ibu yang terasa seperti menyindirku.
“Lain kali aku pulang, tetapi kirimkan dulu aku uang untuk membeli skincare!” Aku sengaja membuat Ibu kesal, biar dia juga merasakan kesal seperti aku.
Lama suara Ibu dari seberang sana tidak terdengar. Kemudian, kudengar embusan napasnya.
“Kamu pulang, atau Ibu tidak menganggap kamu anak Ibu lagi!”
Tuuut.
Telepon terputus, aku tercengang mendengarkan suara Ibu dengan nada tinggi dan sedikit gemetar. Tapi sudahlah, itu hanya gertak sambel. Pasti Ibu akan meneleponku lagi dan tetap mengirimkan uang bulananku.
Setelah berdebat dengan Ibu, rasaya aku lelah. Aku memutuskan untuk tidur siang sejenak. Saat menutup mata, aku terbayang wajah Ibu yang merah karena menahan amarah. Sebetulnya Ibu bukanlah ibu yang suka marah-marah. Ibuku itu hatinya baik, hanya saja ia cerewet. Biasanya Ibu marah sesekali. Di saat ia tak mampu menahan lagi amarahnya, wajahnya berubah merah padam dan siap mengeluarkan kalimat paling pahit sedunia.
Aku melihat ke luar jendela kamar, matahari sudah mulai tergelincir turun dari langit biru. Gagal tidur siangku hari ini. Aku masih saja rebahan di atas kasur empukku, dan mataku kini terfokus pada layar ponsel pintar yang saat ini sedang membuka beranda Instagram.
Tuuut ... tuuut ....
Nah, betul dugaanku. Ibu menelepon lagi.
“Halo, Bu! Uangnya sudah Ibu kirim, belum?” ucapku.
“Halo, Indah. Ini Rini. Tadi ibumu ke rumahku untuk pamit, katanya mau menyusul kamu ke kota. Setelah bincang-bincang singkat, ibumu pergi. Handphone-nya ketinggalan di rumahku,” jelas Rini panjang lebar.
“Oh, begitu. Ya sudah, tolong simpankan handphone ibuku, ya,” ucapku ketus.
“Iya, baiklah,” ucapnya.