Akademisi Desak Pemerintah Fokuskan Anggaran Pendidikan untuk Kementerian Terkait
Wakil Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (Ika UNJ) Uswadin dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR RI --
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO– Akademisi dari berbagai lembaga alumni Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menyerukan agar pemerintah memfokuskan alokasi anggaran pendidikan, yang minimal 20 persen dari total APBN, kepada kementerian yang secara langsung bertanggung jawab atas pelaksanaan fungsi pendidikan di Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Rabu (10/9).
Dalam forum tersebut, Wakil Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (IKA UNJ), Uswadin, menekankan pentingnya optimalisasi anggaran pendidikan untuk mendukung peningkatan kualitas pembelajaran nasional.
“Sesuai konstitusi, anggaran pendidikan 20 persen dari APBN seharusnya dialokasikan secara optimal kepada kementerian yang memiliki mandat pendidikan, bukan tersebar ke lembaga atau kementerian lain. Ini demi peningkatan kualitas dan efektivitas pendidikan nasional,” tegas Uswadin.
Uswadin juga mengusulkan agar pemerintah mulai mengembangkan berbagai skema alternatif pembiayaan pendidikan, termasuk skema dana abadi yang melibatkan partisipasi alumni, masyarakat, dan dunia usaha.
Ia meyakini, potensi besar dari jaringan alumni dapat dimobilisasi untuk mendukung pendidikan nasional.
“Jika dikelola dengan baik, kontribusi alumni bisa menjadi kekuatan baru yang mempercepat kemajuan pendidikan,” tambahnya.
Wakil Ketua III Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FHUI), Almaida Askandar, turut mengingatkan bahwa pengelolaan anggaran pendidikan harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan inovatif.
Menurutnya, dengan sistem pengelolaan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, potensi filantropi di sektor pendidikan akan tumbuh secara alami.
“Ketika sistem sudah baik, para donatur—baik dari dalam negeri maupun luar negeri—tidak perlu dicari. Mereka justru akan datang dengan sendirinya,” ujarnya.
Almaida memberi contoh dari dunia hukum, di mana banyak konsultan hukum memberikan layanan pro-bono (tanpa bayaran) hanya bermodal sertifikat penghargaan sebagai bentuk pengabdian.
Menurutnya, hal serupa bisa diterapkan di dunia pendidikan, asalkan sistem dan tata kelola donasi dibuat terbuka dan profesional.
“Banyak orang di luar sana yang peduli. Ketika mereka tahu ada pihak yang benar-benar membutuhkan, dan proses penyalurannya transparan, pasti akan ada yang tergerak untuk membantu,” pungkasnya.
Para akademisi berharap, masukan tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pendidikan ke depan, khususnya dalam hal alokasi anggaran dan kolaborasi multisektor.
Pendidikan, menurut mereka, bukan semata urusan pemerintah, tapi juga tanggung jawab seluruh elemen bangsa. (*)