Jejak Luka dari Hulu, Ketika “Dosa Ekologis” Menggenangi Negeri
TUMPUKAN: Sampah kayu gelondongan, banjir bandang di Tapanuli Selatan.--
Ketika “Dosa Ekologis” Menggenangi Negeri
Air bah datang seperti amukan panjang yang tak terbendung. Di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, arus cokelat pekat membawa lumpur, batu, bahkan bongkahan kayu bulat sebesar tubuh manusia. Rumah-rumah tersapu dalam hitungan menit.
TERIAKAN minta tolong tenggelam dalam raungan air. Dan ketika surut sementara, satu angka mengunci napas seluruh negeri: 804 orang meninggal, 634 hilang, salah satu bencana lingkungan paling mematikan dalam sejarah modern Indonesia.
Di balik banjir yang tampak sebagai murka alam, para ahli menyebut ada jejak panjang dari kelalaian manusia. Dr. Hatma Suryatmojo, pakar hidrologi hutan Universitas Gadjah Mada, menyebut bencana ini sebagai akumulasi “dosa ekologis” kesalahan kecil dan besar yang selama puluhan tahun dilakukan di hulu sungai, lalu dibayar mahal oleh masyarakat di hilir.
Aceh, misalnya, kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan antara 1990–2020. Kanopi yang dulu meredam air hujan kini hilang, membuat air meluncur langsung ke lembah dan pemukiman. Di Sumatra Utara kondisinya lebih tragis dari 2,1 juta hektare wilayah, hanya 29 persen yang masih berhutan. Sisanya telah berubah menjadi kebun, ladang, atau konsesi yang menyisakan tanah rapuh dan mudah longsor.
Salah satu benteng terakhir ekologi, Batang Toru, kini tercabik-cabik. Konsesi perkebunan, penebangan liar, dan tambang mempersempit habitat, memecah lanskap, dan menggerus kemampuan alam mengatur air. Di Sumatra Barat, meski separuh wilayah masih berhutan, laju deforestasi tetap naik 32.000 hektare hilang pada 2024 saja, meninggalkan lereng terjal yang kian rawan ambruk saat hujan datang.
Ketika video arus banjir yang membawa gelondongan kayu raksasa tersebar luas, amarah publik pun meledak. Banyak yang meyakini bahwa penebangan liar bukan lagi isu pinggiran, melainkan faktor nyata yang memperparah tragedi.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menjanjikan investigasi menyeluruh. Delapan perusahaan di wilayah Batang Toru dari sektor perkebunan hingga tambang sudah dipanggil untuk dicek dokumennya. “Skala kehilangan nyawa manusia menuntut akuntabilitas hukum,” katanya. “Tidak ada yang dikecualikan.”
Di jalur penegakan hukum, Direktur Jenderal Gakkum, Dwi Januanto Nugroho, memeriksa asal-usul setiap kayu yang hanyut, apakah dari pohon tumbang alami, erosi bantaran sungai, konsesi legal, atau operasi gelap yang menyamarkan kayu curian dengan dokumen palsu.
Rantai kejahatan kehutanan kini jauh lebih kompleks. Dari penyitaan 86,6 m³ kayu ilegal di Aceh pada Juni, 152 gelondongan di Solok pada Agustus, hingga lebih dari 4.600 m³ kayu bermasalah di Mentawai dan Gresik pada Oktober, semuanya mengindikasikan skema pencucian kayu yang rapi dan terorganisir.
Untuk menutup salah satu celah yang kerap dimanfaatkan pelaku, pemerintah bahkan menghentikan sementara sistem dokumentasi kayu SIPuHH untuk wilayah non-kawasan hutan. Cukup banyak kayu ilegal yang “disulap” menjadi legal melalui celah administratif ini.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyebut bencana ini seharusnya menjadi titik balik. “Kita harus berani memperbaiki tata kelola hutan dan menyeimbangkan ambisi ekonomi dengan ketahanan ekologi,” ujarnya.
Namun bagi organisasi lingkungan, upaya itu masih sebatas reaksi setelah bencana. WALHI melihat banjir ini sebagai tanda tubuh alam yang tak lagi kuat menahan beban kerusakan. Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, menyebut 99 persen aktivitas tambang ilegal berada di wilayah hulu sungai tempat yang seharusnya menjadi benteng terakhir mitigasi bencana.
Penggalian tebing, pengerukan bantaran sungai, dan pembukaan lahan tanpa kendali membuat tanah hancur struktur. Ketika hujan ekstrem datang, banjir bandang bukan lagi kejutan melainkan konsekuensi.