Optimalkan Segala Metode, Agar Dapat Data Terkini
PENGAMAT: Pengamat Gunung Api Ile Lewotolok, Jeffry Pugel melakukan pemeliharaan alat di stasiun repeater dekat Gunung Ile Werung, Lembata, NTT, Minggu (25/02/2024). FOTO: ANTARA/DOKUMENTASI PRIBADI --
Hari itu, sekitar pukul 13.00 WITA, Gunung Ile Lewotolok naik status dari Level II (Waspada) ke Level III (Siaga).
Gunung Ile Lewotolok
Gunung Api Ile Lewotolok merupakan gunung api aktif di Kabupaten Lembata yang berada pada ketinggian 1.423 meter dari permukaan laut (mdpl).
Gunung api ini mengalami peningkatan aktivitas dari Level I (Normal Aktif) ke Level II (Waspada) pada 7 Oktober 2017, lalu naik lagi menjadi Level III (Siaga) pada 29 November 2020.
Selang dua tahun, status gunung itu diturunkan kembali ke Level II (Waspada) pada 27 Desember 2022.
Setelah 14 bulan bertahan pada Level II (Waspada), status gunung naik menjadi Level III (Siaga) pada 27 Februari 2024.
Untuk mendapatkan data akurat dari gunung api itu, pos pengamatan memiliki berbagai alat pemantauan, di antaranya 4 stasiun seismik analog, 3 stasiun repeater, 4 stasiun CCTV, dan 2 stasiun reflektor deformasi.
Dengan berbagai alat itu, pengamat gunung api melakukan empat metode pemantauan yakni pemantauan visual, seismik, deformasi, dan geokimia.
Pada pemantauan visual, para pengamat gunung api melihat kondisi gunung api menggunakan mata telanjang, bantuan teropong, maupun CCTV.
Sedangkan pada pemantauan seismik, pengamat mengamati dan mengolah data yang dikirim dari stasiun seismik.
Selanjutnya, pemantauan deformasi dilakukan menggunakan alat yang disebut Electronic Distance Measurement (EDM) untuk mendapatkan data deformasi yang bisa disandingkan dengan data seismik.
Lalu, ada pula pengukuran geokimia yang dilakukan dengan pengukuran suhu mata air panas yang bersumber dari Gunung Api Ile Lewotolok.
Selain melakukan pengamatan gunung api, para pengamat yang bertugas di sana juga melakukan pemeliharaan rutin alat-alat yang tersebar pada beberapa titik itu.
Pemeliharaan alat yang dilakukan antara lain pengecekan aki, pembersihan di sekitar stasiun, pengecekan komponen lain, serta perbaikan alat. Semua itu dilakukan berulang kali, bergantung pada kondisi alat di lapangan.
Para pengamat gunung api sangat mengetahui risiko dari pekerjaan itu, terutama jika perbaikan alat harus dilakukan saat gunung mengalami “krisis”.