Kertas Kematian
"Di sini!"
"Harafaya!" Ketua terbang secepat mungkin mendengar suara istrinya, ke tempat yang belum mereka sentuh sebulan belakangan. Kayu di sebelah kandang kucing!
Benar saja, istri dan anaknya terperangkap di sana. Ketua hampir mendarat, namun istrinya cepat mencegah.
"Jangan mendarat! Ini daerah berbahaya. Anak kita ... sudah pergi karena terjebak di sini. Tarik aku!"
Ketua berteriak memanggil yang lainnya. Dia meraih tangan istrinya, diikuti rekan lain menarik kaki Harafaya dari belakang. Harafaya menahan perih kakinya yang hampir putus.
Tarikan itu berlanjut sampai barisan ke-12, membentuk garis sepanjang delapan senti. Harafaya harus siap merelakan kakinya.
"Tarik lebih cepat!" pekiknya, membuat semuanya mengerahkan seluruh tenaga. Dan... putus!
Kedua kaki Harafaya tertinggal, namun dia terlepas seraya memeluk suaminya yang terbang dan mendarat di luar kertas.
"Aku selamat," ujar Harafaya terisak. "Tapi tidak dengan Rouka dan puluhan tetangga kita."
"Kau… hidup."
Harafaya masih menangis. Rombongan mengerubung melihat dan mendengar cerita, sebelum kemudian dibubarkan langkah besar manusia.
"Apa-apaan ini? Mereka berkumpul di sebelahnya tapi tidak lengket? Apa mereka ini kurang bagus?"
Harafaya berdenging saat manusia itu pergi. Dia tertatih, dibantu suaminya bersembunyi.
"Pasti dia yang meletakkan itu untuk memusnahkan kita. Ayo, pergi dari sini!"
Hwarai yang duduk di halaman belakang sambil bermain pasir, menggumam melihat kumpulan lalat itu, menguap. Lalat saja bisa punya kisah, masa dia manusia mau flat saja? Dia dengar semua percakapan mereka! Hwarai mendecak sebal. Padahal cuma kisah lalat terperangkap di lem gajah. Dia beranjak, di sini sudah tidak menarik lagi. Kakaknya baru mengacaukan kisah dramatis itu.