BATU BARA: Menggugat Kadilan dan Kebijakan SDA Jambi
Bahren Nurdin, MA Dosen UIN STS Jambi--
Oleh: Bahren Nurdin
Konflik batu bara di Jambi seakan tak kunjung usai. Baru-baru ini, masyarakat menghadang tongkang pengangkut batu bara yang melintas di Jembatan Tembesi. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk kemarahan masyarakat terhadap kerap terjadinya insiden tongkang menabrak jembatan. Masyarakat juga marah karena pihak pengusaha melanggar kesepakatan. Sesuai perjanjian bahwa sebelum dilakukan perbaikan Jembatan Muara Tembesi, pihak kapal tongkang muatan batu bara dilarang melintas. Ini tidak diindahkan.
Jika ini tidak menjadi perhatian serius pihak-pihak terkait, dikhawatirkan akan terjadi eskalasi konflik yang berkelanjutan. Tidak menutup kemungkinan, masyarakat akan melakukan tindakan main hakim sendiri, seperti pembakaran kapal-kapal pengangkut batu bara yang melintas. Tunggu saja!
Lebih dari sekadar persoalan insiden tongkang, konflik batu bara di Jambi mencerminkan persoalan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat merasa bahwa sumber daya alam hanya dinikmati sebagian pihak, sementara dampak negatifnya dirasakan oleh seluruh masyarakat. Inilah yang kemudian memicu rasa ketidakadilan.
Sekali lagi, terdapat ketidakadilan dalam pembagian manfaat dari eksploitasi SDA, di mana masyarakat justeru menanggung beban kerusakan lingkungan dan permasalahan sosial yang lebih besar.
Idealnya, keadilan pengelolaan SDA merupakan kondisi di mana eksploitasi dilakukan dengan memperhatikan aspek ekonomi, lingkungan, sosial-budaya, dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan penegakan hukum yang baik agar manfaat dan beban dapat dinikmati dan ditanggung secara berimbang oleh semua pihak terkait.
Dalam kenyataannya, yang sering terjadi justru sebaliknya dari kondisi edeal pengelolaan sumber daya alam (SDA) tersebut. Masyarakat seringkali menjadi pihak yang terabaikan dan bahkan menjadi korban dalam pengelolaan SDA. Wajar kemudian jika Masyarakat ‘menggugat’ kebijakan pengelolaan SDA Jambi saat ini dengan cara mereka sendiri.
Dalam situasi ini, pemerintah sebenarnya dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, mempercepat pembangunan jalan khusus untuk pengangkutan batu bara, sehingga meminimalisir risiko kecelakaan tongkang di jalan umum. Kedua, menghentikan sama sekali aktivitas pertambangan batu bara jika opsi pertama dinilai tidak efektif atau terlalu memakan waktu.
Tidak dapat dipungkiri, aktivitas pertambangan batu bara telah menimbulkan kerusakan alam dan kerusakan sosial yang signifikan di Jambi. Secara ekonomi, manfaat langsung yang diterima masyarakat pun minim. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak tegas dalam mengambil kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam, khususnya batu bara.
Konflik ini mengingatkan kita pada pentingnya keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harus mampu menjembatani kepentingan berbagai pihak, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau merasa tidak mendapatkan keadilan.
Sebagai pengamat sosial dan kebijakan publik di Provinsi Jambi, saya berharap konflik ini dapat segera diselesaikan dengan bijak dan adil. Pemerintah harus berani mengambil sikap tegas, baik dalam menindak pelanggaran maupun dalam mengambil kebijakan strategis terkait pengelolaan sumber daya alam.
Akhirnya, keadilan dan keberlanjutan harus menjadi kata kunci utama demi kepentingan masyarakat. Dengan mengedepankan hal ini, diharapkan pengelolaan SDA dapat memberikan manfaat optimal bagi seluruh masyarakat Jambi secara luas, baik untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang. Ini merupakan langkah penting untuk mencegah dan mengatasi konflik serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di Provinsi Jambi. Semoga. (Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik)