Jurnalis Jambi Kecam RUU Penyiaran Minta Pasal ‘Nakal’ Dihapus
AKSI: Sejumlah organisasi pers yang tergabung dalam Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi menggelar aksi demontsrasi di depan Gedung DPRD Jambi, Senin (27/5). --
JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO - Sejumlah organisasi pers yang tergabung dalam Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi menggelar aksi demontsrasi di depan Gedung DPRD Jambi, Senin (27/5) kemarin. Aksi ini sebagai bentuk mengecam revisi UU Penyiaran.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jambi Adrianus Susandra dalam keterangan tertulis menyatakan revisi UU tersebut mengindikasikan kendali berlebih yang membatasi ruang gerak, baik bagi jurnalis dalam mengabarkan berita maupun publik dalam mengakses informasi.
"RUU Penyiaran ini mewujudkan kendali berlebih terhadap ruang gerak warga negaranya. Ini mengkhianati semangat demokratis yang terwujud melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," kata Adrianus.
Menurut Dia, RUU Penyiaran ini bentuk larangan yang menunjukkan ketakutan terbongkarnya permasalahan yang penting untuk diketahui publik. Tidak hanya itu, larangan ini juga merupakan bentuk keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan.
BACA JUGA:Bupati Bungo Segera Tindaklanjuti Rekomendasi Ombudsman
BACA JUGA:DPRD Tanjabtim Dengarkan Nota Pengantar Bupati Terhadap Ranperda Perubahan 2 Perda
"Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif untuk mengatasi persoalan negara, kanal informasi ini malah dilarang. Ini bentuk dari simbol kemunduran kemerdekaan pers karena berusaha membungkam pers melalui RUU Penyiaran. Padahal, karya jurnalistik investigasi merupakan karya tertinggi bagi seorang jurnalis," terang Adrianus.
Unjuk rasa ini dilakukan oleh Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi di Gedung DPRD Provinsi Jambi. Koalisi ini tergabung dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jambi, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jambi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi, dan Rambu House serta komunitas pers mahasiswa dan masyarakat umum yang peduli atas Pers.
Ketua PFI Jambi Irma mengatakan pada Pasal 50B Ayat 2 Huruf K yang berbunyi 'larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik' berpotensi membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers. Pasal ini juga terkesan multitafsir.
"Kami memandang pasal yang multitafsir dan membingungkan ini menjadi alat kekuasaan untuk membungkam pers dan mengancam kemerdekaan pers. Karena itu, kami mendesak agar pasal-pasal 'nakal' ini segera dihapuskan. Draf revisi ini juga menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran. Ini bertentangan dengan UU Pers karena seharusnya siaran jurnalistik tidak dikenai sensor," tegas Irma.
Sementara itu, Ketua AJI Jambi Suwandi alias Wendi khawatir KPI menjadi lembaga powerful yang dapat membatasi kebebasan berekspresi, membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi, hingga dapat melakukan kriminalisasi.
"Sengketa pers yang akan ditangani KPI bertentangan dengan UU Pers dan dapat digunakan penguasa otoritarianisme untuk membungkam kritik. Artinya, semakin banyak jurnalis yang akan dipenjara karena berita," kata Suwandi.
"Kami Jurnalis mendesak agar DPR mengkaji dan merancang ulang RUU Penyiaran dengan mementingkan asas kebebasan pers dan kepentingan masyarakat, serta tidak mengkhianati Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dan kami juga mendesak DPR menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi. DPR harus melibatkan masyarakat, organisasi jurnalis, dan Dewan Pers dalam perancangan RUU Penyiaran," pungkasnya. (*)