Ulet Berkarya Dalam Sunyi Hingga Mampu Kuliahkan Anak

PENYANDANG TUNARUNGU: Pengusaha penyandang tunarungu Raden Ibrahim Somadinata menunjukkan produk usahanya dalam pameran UMKM di Bandung, Minggu (29/9/2024). --

Cerita Raden Ibrahim Somadinata, Penyandang Tunarungu yang Sukses Berbisnis

Satu sore di kawasan Tanimulya, Ngamprah, Bandung Barat, seorang pria paruh baya tampak serius memeriksa dan mengamati kotak-kotak kayu kecil dan batang pohon cukup besar yang digantung di depan rumahnya. Dia adalah Raden Ibrahim Somadinata.

DIIRINGI senyum mengembang lebar, ia menyambut hangat kedatangan ANTARA yang menginterupsi rutinitasnya ketika itu, untuk memeriksa kotak dan batang pohon yang ternyata merupakan sarang lebah yang dibudidayakan sebagai mata pencahariannya.

Dengan senyuman yang hampir tak pernah lepas dari raut wajah pria berusia 59 tahun ini, semua orang tidak akan menyangka bahwa lulusan D3 Sastra Jepang Universitas Padjadjaran ini, merupakan seorang penyandang tuna rungu berjenis heard of hearing atau bisa berbicara dengan jelas dan mendengar dengan alat bantu dengar.

Saat berbincang, Raden menceritakan bahwa dirinya tidak mendapatkan kesulitan mendengar sejak lahir, tapi saat dewasa, yakni pada 1992 karena sakit demam.

Ketika itu, tepatnya 3 bulan setelah menjalankan prosesi wisuda dari Unpad, Raden diajak membantu keponakannya dalam pameran kerajinan tangan selama satu pekan di Jakarta.

Ketika pulang ke rumahnya yang saat itu berada di daerah Sederhana, Kota Bandung, dalam kondisi lelah, tiba-tiba badannya mengalami demam tinggi hingga harus dibawa ke RS Advent untuk menerima perawatan. Bahkan, dia harus tidur bersama es selama 3 hari berturut-turut untuk menurunkan temperatur badannya yang demam tinggi.

Ketika perawatan memasuki hari ke-10, Raden menggambarkan bahwa dirinya kehilangan pendengaran efek dari sakit demamnya, yang berdasarkan keterangan dokter, penyebab sakitnya dan kehilangan pendengaran dirinya adalah akibat virus.

Virus apa, dia juga tak mengetahui detail, namun yang pasti, dirinya divonis mengalami gangguan pendengaran tingkat berat, yakni tak bisa mendengar suara di bawah 80 desibel (db), sehingga diwajibkan memakai alat bantu dengar sampai saat ini.

Sebenarnya, saat itu Raden diberikan opsi untuk melakukan operasi dengan berbagai risiko yang ada, seperti harganya yang tak murah, dan ada kemungkinan gagal dengan akibat tak bisa mendengar secara total.

"Dengan berbagai pertimbangan, saya dan keluarga tidak mengambil opsi operasi. Dan memutuskan untuk memakai alat bantu dengar meski harganya juga tidak murah," kata Raden.

Terpuruk dan Bangkit

Kehilangan pendengaran secara tiba-tiba di usia 20 tahunan, bahkan saat dirinya baru lulus kuliah, membuat Raden merasa tidak percaya diri atas kondisi terbaru yang dimilikinya ketika itu.

Terlebih, saat itu selain lulus tepat waktu, Raden juga mengantongi sertifikasi kemampuan bahasa Jepang (Japanese Language Proficiency Test/JLPT) level 4 atau terkategori cukup baik, yang saat itu bisa menjadi modal utama untuknya bekerja, bahkan sampai di luar negeri.

Namun karena kondisinya, Raden mengurungkan niat untuk melamar pekerjaan, bahkan dirinya juga merasa minder ketika bertemu orang lain hingga dia memilih untuk terus di dalam rumah.

Selama kurang lebih 1 tahun keadaan dalam keterpurukan itu dijalani Raden, hingga akhirnya ada satu temannya yang hobi fotografi mengajaknya untuk membuka diri dan belajar fotografi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan