Kebaya yang populer di masyarakat terdiri atas kutubaru dengan ciri khas stagen atau kain yang dililitkan di perut asal Jawa Tengah, kebaya encim dengan pengaruh peranakan dan Betawi dengan potongan yang longgar dan kerah bulat, kebaya kartini, kebaya labuh dari Riau dengan ciri khas baju yang panjang selutut, dan kebaya noni yang terinspirasi dari masa kolonial Belanda.
Penata gaya Hagai Pakan mengatakan perempuan saat ini telah menghargai kebaya jauh baik dan sudah kembali ke hakikat “pakaian perempuan Indonesia”. Hal itu terlihat dari banyaknya publik figur yang sering memakai kebaya meskipun bukan acara formal, dan kebaya sudah dijadikan pakaian sehari-hari dengan gaya yang lebih personal.
Kebaya merupakan pakaian wanita yang memang harus dilestarikan karena kebaya tidak terbatas kalangan, warna kulit, dan ia menyebut semua bentuk tubuh perempuan Indonesia bisa masuk dalam satu baju yang bernama kebaya.
“Sekarang, kebaya kembali ke tubuh perempuan Indonesia dan aku rasa makin banyak perempuan pakai kebaya. Dulu orang lihat kebaya hanya untuk acara formal atau tradisional, sekarang aku lihat lebih ke sehari-hari orang kuliah pakai kebaya, publik figur tampil menyanyi walaupun dresscode-nya bukan kebaya tapi dia pakai kebaya, jadi sudah dilihat sebagai common fashion item,” kata Hagai.
Alhasil, kebaya pun bisa leluasa dipakai dan digabungkan dengan gaya lainnya, asalkan memahami aturan tidak tertulis dan harus menghargai sejarah dari pakaian tersebut.
Kebaya dengan bahan beludru (velvet) dengan bordir penuh hanya cocok jika dipakai pada acara tradisional dan malam hari. Selain itu jika menghadiri acara 1 Suro juga disarankan tidak memakai kebaya katun berwarna hitam.
Pakem tersebut yang membuat kebaya menjadi suatu fashion item yang memiliki wibawa dan keanggunan yang berbeda dari pakaian lainnya.
Namun, Hagai juga menepis bahwa memakai kebaya harus kaku karena sarat akan sejarah. Kebaya juga bisa menjadi luwes dan fleksibel ketika dipakai di acara yang tepat dengan kombinasi gaya yang sesuai dengan kenyamanan penggunanya asal tidak menghilangkan ciri khas kebaya.
Dengan modifikasi model dan motif, menurut Hagai, sah-sah saja ketika kebaya menjadi pakaian modern tanpa menghilangkan esensi kebaya sebagai pakaian tradisional.
Perlu Kesadaran Berkebaya
Guna mempertahankan eksistensi kebaya, Dwi mengatakan harus ada lagi tokoh kebaya yang bisa dijadikan panutan. Saat ini masih sedikit tokoh perempuan yang berkebaya, kecuali pada kesempatan formal seperti upacara kenegaraan dan tidak berkonde karena memakai hijab. Ia mencontohkan seorang Tien Soeharto yang dengan bangga selalu memakai kebaya di mana saja dan dalam acara apa saja, lengkap dengan sanggul.
Bambang juga menuturkan harus ada acara yang mewajibkan pesertanya menggunakan kebaya dan perlu banyak lagi festival di kalangan sekolah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan berkebaya mulai dari kalangan pelajar, menengah, dan mahasiswa.
Sementara itu, peran komunitas dari daerah juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berkebaya. Meskipun hanya gerakan kecil, ikhtiar ini harus konsisten dan berkomitmen tinggi untuk menjaga kebaya sebagai busana khas Indonesia yang menjadi ciri ke-Indonesia-an sebuah bangsa besar seperti Indonesia.
Komunitas seharusnya tidak sekadar pamer berkebaya, tetapi wajib turut memahami dan menggali pengetahuan mengenai kebaya.
Bagi Hagai, figur publik juga bisa mencontohkan padu padan kebaya dengan lebih fashionable yang nyaman dipakai dan tidak harus terlihat terlalu formal. Kebaya bisa dipadukan dengan celana jins dan sneakers, atau dengan ankle boots untuk menghadirkan kesan santai namun tetap elegan. Kombinasi atasan kebaya juga tidak harus selalu kain yang dililit, namun juga bisa dengan motif kain dari daerah lain misal kain Timor, kain Bali, atau kain klasik Jawa.
Dengan memahami dan mengenal esensi kebaya, perempuan Indonesia bakal semakin banyak yang menggunakan kebaya: bukan sekadar ‘kostum’, melainkan menjadi bagian dari keseharian wanita Indonesia. (ant)