JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO- Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menjelaskan sejumlah dampak yang mungkin ditimbulkan oleh tekanan ekonomi di Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian Indonesia dalam Biweekly Brief CELIOS yang diadakan secara virtual.
Bhima Yudhistira menyebutkan bahwa salah satu dampak utama adalah peningkatan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Jika resesi di AS semakin menguat dan bank sentral AS tidak memberikan kepastian, investor dapat beralih ke aset yang dianggap lebih aman seperti emas atau dolar AS, yang dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah dalam jangka menengah.
BACA JUGA:Target Pertumbuhan Ekonomi Sungai Penuh 5,13 Persen Dalam KUA PPAS Pemkot Sungai Penuh
BACA JUGA:Mendagri Optimistis RI Jadi Negara Dengan Ekonomi Dominan di dunia
Dampak kedua adalah penurunan cadangan devisa Indonesia akibat pelemahan permintaan ekspor ke AS.
Meskipun ekspor Indonesia ke AS tidak sebesar ke China, barang-barang yang diekspor ke China sering kali diolah dan dijual di pasar AS. Oleh karena itu, penurunan permintaan di AS dapat berdampak negatif pada kinerja ekspor Indonesia.
Suku bunga tinggi di AS juga menjadi perhatian utama. Tingginya suku bunga di AS dapat mencegah aliran dana asing keluar, terutama dari pasar surat berharga.
Jika bank sentral AS hanya memangkas suku bunga sebesar 25 basis points (bps), tidak ada jaminan akan ada pemotongan lebih besar di masa depan.
BACA JUGA:Prabowo Optimis Pertumbuhan Ekonomi Capai 8 Persen
BACA JUGA:Menhub: Transportasi Darat Penting, Dukung Pertumbuhan Ekonomi
Hal ini berarti suku bunga yang tinggi mungkin masih diperlukan untuk menjaga nilai tukar rupiah dan menahan aliran modal keluar.
Menurut Bhima, pelaku usaha yang mengandalkan pinjaman domestik mungkin akan mengalami kesulitan jika suku bunga tetap tinggi.
Selain itu, pemerintah juga menghadapi tantangan, karena masih memerlukan dana asing untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Meski porsi dana asing di SBN semakin kecil, aliran modal dari luar tetap penting.
Bhima juga menyebutkan bahwa resesi ekonomi AS dapat mempengaruhi minat investor terhadap surat utang pemerintah Indonesia.
Hal ini dapat menghambat pencarian pembiayaan untuk program pemerintah tahun 2025, menutup defisit APBN 2024, dan membayar utang jatuh tempo yang semakin besar tahun depan.
BACA JUGA:Generasi Milenial Bisa Berkontribusi di Ekonomi Digital
BACA JUGA:Kinerja APBN Dukung Perekonomian Regional
"Resesi ini berpotensi menambah kesulitan pemerintah dalam mengakses pembiayaan yang murah," tambahnya.
Bhima Yudhistira juga memaparkan beberapa indikasi ekonomi AS yang mengarah pada resesi, seperti:
-Tingkat pengangguran di AS yang naik menjadi 4,3 persen pada Juli 2024.
-Penurunan angka pembukaan lowongan kerja dari 12,1 juta pada Maret 2022 menjadi 8,1 juta pada Juni 2024.
-Saham Rule di atas 0,5 persen, menunjukkan potensi resesi yang besar.
Tanda-tanda lain termasuk ketidakpastian pemilu AS pasca penembakan Donald Trump dan penurunan tajam indeks saham di AS, dengan NASDAQ turun 8,59 persen dan S&P 500 turun 3,96 persen dalam sebulan terakhir.
BACA JUGA:Angkat Penelitian Sistem dan Website LPSE, Milde Wahyu Raih Gelar Doktor Ekonomi