Cerita Dr Tengsoe Tjahjo, Merefleksi Makna Kemerdekaan dengan Putibar
Tengsoe menyodorkan puitika peringatan kemerdekaan Indonesia yang hidup, sederhana, dan mengena.
---
MASYARAKAT kebanyakan, merefleksi makna kemerdekaan dengan menghias tampilan fisik, seperti menghias rumah dan wajah kampung atau kawasan dengan berbagai ornamen yang menonjolkan warna utama merah dengan putih.
Demikian juga di lingkungan instansi pemerintah, yang dilengkapi dengan berbagai kegiatan seremonial, seperti lomba-lomba atau karnaval yang semuanya berujung pada kemeriahan fisik dan tampilan gebyar.
Bukan ingin memperhadapkan atas pilihan refleksi itu antara satu dengan lainnya, sebagian kecil dari masyarakat kita memilih dunia sunyi dan jauh dari gemerlap perayaan untuk menemukan makna terdalam dari kemerdekaan bangsa ini.
BACA JUGA:Momentum Tol
BACA JUGA:Kader PDI-P Wajib Patuh, Sanksi Menanti bagi Pembelot dalam Pilkada Serentak 2024
Pilihan itu adalah kontemplasi, sekaligus evaluasi diri, maupun sebagai bagian dari anggota masyarakat, mengenai sejauh mana kita selama ini betul-betul menikmati sekaligus mensyukuri dan menghargai jerih perjuangan para leluhur dalam mengusir penjajah dari Bumi Nusantara ini di masa lalu.
Mengisi kemerdekaan dengan kebaikan-kebaikan untuk semua adalah harapan ideal kita yang terlahir sebagai generasi yang tidak pernah terlibat dalam perjuangan fisik melawan penjajah di masa lalu.
Dr Tengsoe Tjahjo, pensiunan dosen sastra dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), merefleksi makna kemerdekaan lewat jalan tak gemerlap itu, yang dituangkan dalam bentuk puisi khas, yakni puisi tiga bait (putiba).
Mengutip ungkapan William Faulkner, seorang penulis Amerika Serikat, Tengsoe menegaskan bahwa makna merdeka itu bukan sekadar sebuah pernyataan bahwa kita ini sudah merdeka, melainkan bagaimana mempraktikkan kemerdekaan itu dalam kehidupan.
Mempraktikkan kemerdekaan itu tentu dengan cinta, kerja, dan karya yang banyak memberi manfaat bagi yang lain. Atas dasar itulah dia ingin merefleksikan pengalamannya sebagai bagian dari bangsa yang merdeka melalui puisi.
"Refleksi ini berangkat dari pertanyaan saya selama ini, apakah praktik-praktik kemerdekaan itu sudah saya jalankan? Atau justru saya mengabaikan hal-hal penting yang tampak kecil, namun memiliki hakikat sangat mendalam terkait makna praktik kemerdekaan itu?" katanya saat berbincang dengan ANTARA.
Jika kita menyatakan bahwa bangsa ini sudah merdeka dan kita menjadi bagian di dalamnya, sudah seharusnya sebagai pewaris dan penerus keberlangsungan berbangsa dan bernegara tidak bermalas-malasan untuk berkarya, datang terlambat dan pulang cepat di kantor, terbiasa hidup dan makan dari gaji buta, tumpul hati dari fenomena yang terjadi di sekitarnya, hilang rasa simpati, empati, dan jiwa solidaritas.