JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO-Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJSUI) merekomendasikan agar harga rokok dinaikkan dua kali lipat dari rata-rata saat ini, yaitu dari Rp30 ribu menjadi Rp60 ribu, untuk menekan tingkat konsumsi rokok di masyarakat.
Dalam sebuah konferensi pers daring yang diadakan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di Jakarta, Ketua PKJSUI Aryana Satrya mengungkapkan hasil survei yang melibatkan 1.000 responden, di mana lebih dari 80 persen menunjukkan dukungan untuk kenaikan harga rokok.
BACA JUGA:Meski Terlihat Sehat, Perokok Masih Rentan Terhadap Penyakit Serius
BACA JUGA:Isu Rokok Perlu Diatasi Guna Cegah Kasus TB Semakin Tinggi
"Bahkan, 80 persen dari perokok setuju jika harga rokok mencapai Rp60 ribu, diperkirakan sekitar 60 persen dari mereka akan berhenti merokok. Jika harganya mencapai Rp70 ribu, angka tersebut bisa meningkat hingga 70 persen," jelas Aryana sebagaimana dikutip Antara.
Ia menekankan bahwa kenaikan harga ini tidak akan efektif tanpa adanya kenaikan cukai rokok. Menurutnya, pemerintah belum cukup agresif dalam melakukan peningkatan cukai.
Aryana juga mencatat bahwa ada rencana dari Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk meninjau harga jual eceran rokok, tetapi ia berpendapat bahwa langkah ini tidak akan signifikan dalam meningkatkan pendapatan pemerintah dan kurang efektif untuk menekan konsumsi.
BACA JUGA:Kesulitan Berhenti Merokok Dipengaruhi Dari Dalam Diri
BACA JUGA:Pemerintah Perlu Tiru Eropa Tangani Kecanduan Rokok
"Selama bertahun-tahun, pemerintah sebenarnya memiliki peluang untuk menaikkan cukai rokok. Meskipun ada kekhawatiran mengenai penurunan produksi dan konsumsi, statistik menunjukkan bahwa penurunannya relatif kecil namun tetap penting untuk mengurangi prevalensi merokok," tambahnya.
Ia juga menunjukkan bahwa penerimaan cukai yang diperoleh pemerintah terus meningkat, bahkan dalam dua tahun terakhir ini.
"Beberapa penelitian kami sebelumnya menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga perokok cenderung mengalami stunting hingga 5,5 persen dan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah," ungkap Aryana.
BACA JUGA:Risiko Penggunaan Rokok Elektrik Mirip dengan Rokok Konvensional, Begini Penjelasannya
BACA JUGA:Bahaya Asap Rokok 20 Kali Tingkatkan Risiko Kanker Paru
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa mayoritas perokok berasal dari kelompok masyarakat miskin yang menerima bantuan sosial, tetapi sering kali dana bantuan tersebut digunakan untuk membeli rokok, sehingga memperburuk kondisi ekonomi mereka. (*)