PADANG, JAMBIEKSPRES.CO–Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Komisaris Jenderal Polisi Marthinus Hukom, kembali menegaskan bahwa lembaganya menolak upaya legalisasi ganja, meskipun ditujukan untuk kepentingan medis atau kesehatan.
Hukom menekankan bahwa terdapat banyak alternatif pengobatan yang dapat digunakan selain ganja, yang dinilai memiliki risiko berbahaya jika dilegalkan.
"Saya ingin bertanya kepada pihak yang ingin melegalkan ganja, apakah tidak ada cara pengobatan lain selain menggunakan ganja?" ujar Komjen Polisi Marthinus Hukom dalam kunjungannya di Padang.
Menurutnya, legalisasi ganja, meskipun atas nama kesehatan, berisiko disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi. Hal ini dikhawatirkan dapat membuka celah bagi penyalahgunaan narkotika golongan satu dengan menggunakan alasan medis.
BACA JUGA:Upaya Meningkatkan Pelayanan Kesehatan
BACA JUGA:Upaya BPJS Kesehatan KC Jambi Tekan Tunggakan Iuran
Hukom menguraikan setidaknya terdapat 12 dampak buruk yang bisa dialami oleh individu yang mengonsumsi ganja, di antaranya gangguan pada sistem pernapasan, penurunan daya ingat, serta masalah kesehatan mental dan saraf.
Menurutnya, apabila ganja dilegalkan, bahkan untuk tujuan pengobatan, maka bisa menciptakan risiko kerusakan sosial yang lebih besar.
"Jika ganja dilegalkan untuk pengobatan, akan ada peluang besar bagi penyalahgunaan, yang pada akhirnya merusak masyarakat kita. Kita harus memastikan bahwa alasan kemanusiaan benar-benar menjadi tujuan, bukan hanya kepentingan segelintir orang," tegas Hukom.
Komjen Hukom menekankan pentingnya mencari solusi pengobatan lain tanpa harus mengandalkan ganja. BNN mengajak semua pihak untuk mengeksplorasi metode pengobatan alternatif yang lebih aman dan terbukti efektif secara medis.
Isu legalisasi ganja untuk kepentingan kesehatan mencuat kembali setelah Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol perubahannya.
Uji materi tersebut diajukan oleh Pipit Sri Hartanti dan Supardji, yang merupakan orang tua dari Shita Aske Paramitha, seorang penderita cerebral palsy yang berharap bisa mendapatkan pengobatan alternatif berbasis ganja.
Permohonan tersebut didasarkan pada argumen bahwa ganja dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk penyakit-penyakit tertentu, seperti cerebral palsy yang diderita oleh putri mereka.
Namun, MK menolak permohonan ini, menegaskan bahwa ganja tetap termasuk dalam narkotika golongan satu yang dilarang di Indonesia.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa meskipun ada tekanan untuk penggunaan ganja medis di beberapa negara, Indonesia masih memprioritaskan perlindungan masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika, terutama yang berasal dari golongan satu seperti ganja.