MELIHAT ‘ORANG KOEBOE JAMBI' DALAM PUBLIKASI ERA KOLONIAL : SEBUAH TRANSFORMASI PERSPEKTIF HUMANISME BELANDA

Senin 13 Jan 2025 - 19:52 WIB
Oleh: Muhammad Akta

Lebih jauh, hal ini disampaikan oleh Hazewinkel di Koningsplein atau yang sekarang dikenal sebagai Kawasan Medan Merdeka dan Monas di Jakarta. Semangat anti inferioritas yang disampaikan penulis sejalan dengan penerapan Politik Etis di Indonesia yang diterapkan sejak 17 September 1901 oleh Ratu Wilhelmina untuk bertanggung jawab secara moral kepada daerah jajahan yaitu Indonesia. Publikasi ini juga mengungkapkan secara umum mengenai asal usul, kepercayaan, makanan, pernikahan hingga pembuatan rumah bagi Orang Kubu yang menjadi permasalahan hingga saat ini. Pembuatan rumah bagi Orang Koeboe dinilai tidak menjadi solusi bagi kehidupan mereka yang nomaden dan rumah tersebut akan ditinggal salah satunya dikarenakan untuk melangun.

Apresiasi terhadap apa yang disampaikan Hazewinkel digambarkan pada akhir tulisan dalam koran ini. Salah satu tokoh yang hadir adalah Hendrik Petrus Berlage, seorang arsitek terkenal asal Belanda. Tepuk tangan spontan dari hadirin mengakhiri ceramah penulis yang juga menerbitkan buku mengenai eksistensi Badak di pulau Sumatra ini. 

Sekitar satu tahun kemudian, publikasi tentang Orang-Orang Sumatra berjudul Sumatraantjes karya H.C Zentgraaff dan W.A. Van Goudoever diterbitkan. Dalam buku ini, kedua penulis memberikan banyak ruang mengenai pembahasan Orang Koeboe, walau dibeberapa sisi membahas aktivitas pertambangan dan pembangunan jalan di Djambi, atau setidaknya Midd-Sumatra. Pada sub-bagian Berburu (Jacthverhalen), penulis tetap menafsirkan bahwa Orang Koeboe di Jambi dan Palembang adalah orang yang pemalu (schuw), namun menariknya adalah penulis dengan senang hati belajar dan mengikuti nasihat dari mereka bagaimana menghadapi Harimau dan Beruang ketika berada di hutan.

Zentgraaf dan Goudoever melihat bahwa Orang Koeboe di Jambi kala itu sudah terlihat di pasar laku berinteraksi dalam menjual hasil hutan. Setelah proses itu selesai, mereka hilang kembali masuk ke hutan. Penulis khawatir akan eksistensi mereka di masa depan, akibat kepunahan atau transisi kehidupan yang modern seperti penerapan pertanian atau tempat tinggal yang permanen. Redaksi yang dipilih oleh penulis adalah “...stellen wij belang in deze bosch menschen…”. bermakna kami tertarik dan menaruh perhatian pada orang-orang yang tinggal di hutan ini.

Pengetahuan Orang Koeboe tentang hutan dianggap sempurna oleh penulis. Namun, penulis melihat masyarakat Maleiers (Melayu) telah mencoba mendobrak isolasi diri yang dilakukan oleh Orang Koeboe dengan berinteraksi dan mengajak untuk meninggalkan hutan dan bercocok tanam sebagai petani. Ajakan bekerjasama ini menunjukkan upaya agar Orang Koeboe memiliki kecakapan hidup seperti Maleiers, walaupun saat itu Orang Koeboe telah jauh memiliki kecakapan hidup dalam mengelola hutan dengan sistem food gathering dan sesekali food producing.

Bak panggang jauh dari api, upaya peradaban yang dilakukan oleh dinas terkait di Sumatera dilakukan dengan cara “merumahkan” Orang Koeboe yang berada di hutan antara Djambi dan Palembang. 6 Oktober 1952 terbit artikel berjudul Bevrijding van Kubu’s uit Isolatie. Yang pasti, dinas tersebut meminta dana pembuatan pemukiman Orang Koeboe kepada pemerintah di Jakarta. Ketika menjadikan Orang Koeboe tidak mengembara, tidak nomaden, apakah telah disiapkan kecakapan hidup mereka dari food gathering menjadi food producing? Dari ber-tjawat menjadi berpakaian seperti orang Maleiers ? Entahlah, berita dalam Koran Java Bode ini tidak membahas sampai sejauh itu. 

Penggunaan kata Koeboe pasca kemerdekaan berubah menjadi Kubu. Pemaknaan kata ini mengalami peyorasi dari sebuah kelompok yang terpagar (terisolasi, tertutup) menyempit menjadi kelompok orang yang tertinggal, menjijikkan dan kotor. Pada tahun 1954, Kejaksaan di Padang bahkan pernah mengadili redaktur “Harian Penerangan” yang menggunakan kata Kubu dalam publikasinya mengenai Orang Koeboe Jambi. Kata Kubu Beledigend Beschouwd (dianggap menyinggung) warga Jambi, sehingga pemeriksaan dilakukan hingga lebih dari 3 jam. Tidak hanya itu, bahkan interogasi ini dilakukan selama 2 kali, di Dinas Keamanan Negara dan di Kantor Gubernur. Hal ini menunjukkan bahwa pelarangan kata Kubu sebagai bentuk penyetaraan kaum marjinal di jambi telah bertransformasi dengan baik dari era kolonial hingga era pasca kemerdekaan ini. 

Perspektif seseorang dalam menuliskan tentang Orang Koeboe di era kolonial sedikit banyak mempengaruhi minat, ketertarikan dan kebijakan yang terjadi pasca tulisan itu dibuat. Unsur-unsur humanistik yang tergambar dalam publikasi era kolonial Belanda ini sangat sesuai dengan misi Pemerintah Belanda dalam memakmurkan wilayah jajahan dalam bentuk Politik Etis atas usulan dari kaum humanis di Belanda. (*Guru Sejarah MAN Insan Cendekia Jambi/Supervisor of Student Research Center (Sturec) 

Tags :
Kategori :

Terkait